Laman

Kamis, 17 November 2011

Apa yang salah dengan formalisasi Syariat Islam?

Apa yang salah dengan formalisasi Syariat Islam?

Geliat untuk menghadirkan pesan Islam secara utuh oleh
kalangan tertentu ditunjukkan dengan upaya menerapkan
syariat Islam. Tidak cukup dengan penerapan syariat
yang jelas merupakan kewajiban individual umat,
kalangan tertentu berhasrat untuk memformalkan syariat
atas dasar bahwa formalisasi syariat merupakan obat
mujarab (antidote) menuntaskan rumitnya persoalan yang
hingga kini terus mendera umat dan bangsa. Mereka
seolah ingin menegaskan bahwa ”Islamisasi struktural”
dengan memanfaatkan otoritas politik untuk mendesakkan
kepentingan agama tertentu menjadi keharusan, bahkan
kewajiban agama yang akan berdosa jika ditolaknya.
Menolaknya dianggap sebagai penolakan terhadap
sakralitas syariat yang ilahiah (divine order)
sekaligus pembangkangan terhadap Tuhan sebagai
”perumus” syariat.
Semangat inilah yang terus dipropagandakan oleh
sebagian umat Islam mutakhir, tidak terkecuali di
Tanah Air. Dengan mengambil bentuk formalisasi,
kelompok kepentingan ini begitu yakin bahwa segala
sesuatu akan terselesaikan dengan medium represif yang
bernama negara. Dengan demikian, negara bisa saja
mengendalikan dan mengawasi keyakinan agama warganya:
suatu hal yang sejatinya menjadi tanggung jawab
pribadinya.
Dalam konteks negara yang menampung beragam keyakinan
agama, Indonesia misalnya, formalisasi syariat jelas
menimbulkan persoalan. Persoalan ini begitu kentara
ketika syariat yang dimaksud menyangkut hukum publik
atau hukum pidana yang berdampak tidak saja pada umat
yang menganut syariat, tetapi juga—dan ini yang
terpenting—pada umat lain di luar penganut syariat
ini. Berbeda dengan hukum perdata yang hanya mengatur
internal umat yang mengakui syariat tersebut tanpa
mengikat pada kelompok di luarnya. Nyatanya, pengusung
formalisasi syariat tampaknya lebih mengedepankan
proyek formalisasi syariat publik yang mengatur warga
negara secara keseluruhan. Di sinilah problem itu
terjadi, tidak saja bagi umat Islam tetapi juga bagi
penganut agama lainnya.
Dalam konteks Islam, formalisasi syariat berdampak
pada unifikasi hukum. Unifikasi hukum yang diciptakan
negara berujung pada terberangusnya ruang perbedaan
yang sebenarnya juga disediakan oleh syariat.
Sementara dalam konteks luar Islam, formalisasi
syariat jelas berakibat pada pemaksakan ajaran dan
keyakinan tertentu bagi kelompok lain dalam sebuah
negara. Kontrak sosial yang disediakan negara hangus
akibat dominasi agama tertentu yang ambil bagian dalam
formalisasi syariat. Ini juga akan berujung pada
retaknya perekat sosial dari sebuah negara yang dari
awal mendakwa sebagai wadah peleburan (melting pot)
dari beragam entitas, baik etnik maupun agama. Namun
sayangnya, hal ini tidak disadari oleh para penggiat
formalisasi. Mereka pun seolah melupakan pengalaman
negara lain yang lebih awal mempropagandakan semangat
serupa, namun akhirnya tidak kuasa melapangkan
keinginannya.

Pengalaman Negara Lain
Amatlah bijak apabila kita belajar dari pengalaman
negara lain yang lebih awal mendeklarasikan dirinya
telah menpraktikkan syariat Islam dalam konstitusi
negaranya. Tengokan sejarah ini penting bukan karena
mereka telah berhasil meresmikan syariat Islam sebagai
official canon dalam penyelenggaraan pemerintahannya,
melainkan karena implikasinya terhadap kemungkinan
demokratisasi dan penegakan hukum yang dicita-citakan
oleh bangsa dan masyarakat yang majemuk.
Mengamati fenomena formalisasi syariat di beberapa
negara semisal Sudan, Iran, Pakistan, Afghanistan, dan
Arab Saudi, tampaknya kita tidak menemukan formulasi
konseptual yang tunggal tentang rumusan syariat Islam
yang hendak diformalisasikan. Negara-negara tersebut
ternyata tidak memiliki keseragaman bentuk syariat
Islam yang bagaimana yang hendak diejawantahkan dan
bentuk syariat Islam yang mana yang hendak diterapkan.
Belum lagi negara-negara yang mendakwakan dirinya
menerapkan syariat Islam tidak lebih berhasil
dibandingkan negara lain yang tidak begitu berambisi
melapangkan formalisasi syariat. Malah di negara yang
berlabel negara Islam ini badai konflik tak
berkesudahan. Jangankan dengan orang di luar kelompok
agamanya, dengan kelompok di internal agamanya pun
kerap terjadi ketegangan.
Tampaknya kegamangan konseptual semacam itu berikut
dampak-dampak sampingannya semakin mengukuhkan
anggapan bahwa greget formalisasi syariat itu tidak
lebih dari indikasi mengentalnya semangat Islamisasi
politik. Semangat ini misalnya ditandai dengan
kecenderungan untuk menghadirkan sebuah ”komunitas
imagener” yang kerap dilekatkan pada komunitas muslim
pertama. Kecenderungan yang bercorak
romantik-atavistik yang menginginkan hadirnya kembali
komunitas dan sistem politik par excellence pada masa
Nabi dan empat khalifah Islam pertama, yang bagi
kelompok ini dianggap mengguratkan pola-pola ideal
penerapan syariat.


Bisa jadi fenomena ini menggambarkan ”strategi cari
selamat” dari pengalaman kegagalan eksprementasi
keberagamaan yang cenderung melacurkan nilai-nilai
agama sebagaimana disebarkan sekularisme. Atau mungkin
juga, fenomena formalisasi syariat hanyalah bentuk
kemunafikan, atau meminjam istilah Olivier Roy dalam
bukunya The Failure of Political Islam (1996), hile
shar’i: akal-akalan hukum yang pada akhirnya
memungkinkan umat mengelak dari larangan syariat tanpa
terbebani dosa. Ini juga, misalnya, ditunjukkan dengan
mengecambahnya bank-bank berlabel syariah, yang
lagi-lagi menurut Roy tidak lebih dari strategi
pemasaran dan bukanlah suatu alternatif pola tatanan
sistem perekonomian baru. Label syariah semata-mata
dijadikan sebagai produk menggiurkan di tengah-tengah
fenomena bangkitnya aktivisme religius yang berambisi
meng-agama-kan seluruh sistem kehidupan umat.
Jika demikian, proyek formalisasi hanyalah proyek
simbolisasi dan lebelisasi keberagamaan dengan
melapisi (vaneered) seluruh aspek kehidupan warga
tanpa menyentuh substasi nilai-nilai agama itu
sendiri. Jika ini yang terjadi, ambisi formalisasi
syariat akan terkesan ilusif dalam menciptakan
kesejahteraan warga secara umum dengan melampaui
sekat-sekat keyakinan tertentu.

Syariat Substansial
Tidak ada yang membantah bahwa syariat adalah
kewajiban agama yang mutlak ditaati. Namun
persoalannya menjadi lain ketika keunikan syariat yang
dimiliki kelompok agama tertentu dipaksamasukkan dalam
hukum positif sebuah negara yang mewadahi beragam
keyakinan. Reduksi, bahkan penunggalan, yang kemudian
disertai dengan penolakan pada yang lain (rafdlu
al-Ă¢khar) dapat dipastikan akan terjadi, dan ujungnya
sentimen agama yang mestinya diendapkan, menguap dalam
wujud pertarungan simbol. Dari pertarungan simbol
inilah keretakan hubungan mesra antar-agama mulai
tercemari hingga akhirnya berujung konflik atas nama
agama.
Dalam konteks ini, ”proyek” formalisasi syariat yang
mengedepankan ”cara” (tehnique) dalam menerapkan
syariat, yaitu positivisasi syariat Islam melalui
jaring-jaring kekuasaan, dipastikan menemukan ajalnya.
Berbeda dengan pandangan yang mengutamakan penerapan
nilai-nilai syariat (the primacy of values) yang
melampaui batas-batas formalnya. Pandangan ini relatif
bisa mewadahi pluralitas agama yang menjadi ikon
kehidupan beragama dewasa ini.
Inilah ironi sebagian kalangan yang demikian
bersemangat melapangkan formalisasi syariat, sementara
mereka tidak menyadari bahwa di balik niat tulus
mem-praxis-kan syariah ternyata mereka lupa ada efek
negatif pula yang dimunculkan. Ketulusan untuk
melaksanakan agama secara utuh ternyata tidak
dibarengi dengan cara beragama (mode of religiousity)
yang utuh pula. Ketaatan pribadi dengan Tuhan (ibadah
ritual) tidak diiringi dengan sikap saling memahami
dan menghargai sesamanya (ibadah sosial). Dan
formalisasi syariat Islam jelas merentankan terjadinya
kesalahpahaman antarsesama. Seharusnya bukanlah
syariat yang diformalkan, tetapi substansi syariat
yang mengandung pesan keadilan itulah yang
diformalkan.
Oleh Ahmad Fawaid Sjadzili

Tidak ada komentar:

Posting Komentar