Laman

Senin, 14 November 2011

FATWA HARAM PEREMPUAN PEMIMPIN

FATWA HARAM PEREMPUAN PEMIMPIN

Fatwa Ulama haram untuk kepemimpinan perempuan, Kamis (3/6). Ada dua landasan teks keagamaan yang biasa digunakan sebagai dalil untuk menolak kepemimpinan perempuan: Al Quran Surat An Nisa: 34, yaitu "Lelaki adalah qawwaam bagi perempuan", dan hadis "Tidak akan sejahtera suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada seorang perempuan". Dilihat dari status periwayatannya, hadis ini tergolong sahih, bahkan diriwayatkan setidaknya oleh Al Bukhari, At Turmuzi, dan An Nasa’i.
Meskipun begitu, tak seluruh ulama bersepakat ayat dan hadis di atas merupakan dalil untuk menghalangi kepemimpinan perempuan, apalagi mengharamkannya. Bahkan, beberapa ulama progresif memberi makna berbeda yang lebih didasarkan pada nilai fundamental Islam. Misalnya, ayat tentang kesetaraan penciptaan lelaki dan perempuan (An-Nisa: 1), perbedaan manusia hanya didasarkan ketakwaannya (Al Hujurat: 31), dan pengakuan atas derajat kemanusiaan keduanya yang harus dihormati tanpa membedakan satu atas lainnya (Al Isra: 70).
Dalam hal prestasi dan tanggung jawab, laki-laki dan perempuan dituntut mewujudkan kehidupan yang baik dan melakukan kerja positif (An-Nahl: 97), dan untuk tujuan itu perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk memperoleh balasan yang layak atas kerja yang mereka lakukan (Al Ahzab: 35). Bagi kalangan mufasir progresif, ayat-ayat itu jelas lebih prinsipiil daripada ayat yang menceritakan lelaki adalah qawwaam bagi perempuan. Bagi mereka, ayat kepemimpinan itu dikategorikan sebagai ayat yang parsial yang dalam pemahamannya terikat pada ruang dan waktu. Oleh karena itu, ayat tentang kepemimpinan seharusnya tunduk dan dibaca dengan semangat ayat prinsipiil yang tidak membutuhkan pembuktian atas kebenarannya.

Cara lain untuk membaca ulang ayat itu adalah dengan memberikan makna baru atas kata qawwaamina dalam ayat tersebut. Kata qawwaam dalam ayat itu memang menjadi pangkal diskusi. Kalangan tradisionalis mengartikannya secara tunggal, "pemimpin"; lelaki adalah pemimpin bagi perempuan. Dengan menggunakan pendekatan semantik, tafsir yang lebih progresif mengartikan kata itu ke dalam semangat yang lebih sejalan dengan nilai universal Islam tentang kedudukan perempuan yang setara dengan lelaki, sebagaimana tertera dalam ayat-ayat prinsipiil di atas.
Pada pihak lain, dalam Al Quran sendiri setidaknya ada beberapa ayat lain yang juga menggunakan kata qawwaam, seperti dalam An Nisa: 135 dan Al Ma’idah: 8. Pada kedua ayat tersebut kata qawwaam tak diartikan pemimpin, melainkan komitmen dan penegasan. Demi konsistensi, seharusnya kata qawwaamina pada Surat An Nisa: 34 diartikan komitmen dan pembelaan, dan bukan hak untuk memimpin perempuan. Seorang mufasir besar, Imam Fakhruddin Ar Razi, mengartikan qawwaaam sebagai tanggung jawab pengelolaan, pemeliharaan, dan perhatian terhadap kepentingan perempuan (Ar Razi, at Tafsir al Kabir, IX/34). Dengan demikian, konsepsi qiwwaamah dalam Surat An Nisa: 34 tidak bisa menjadi landasan bagi pelarangan kepemimpinan perempuan dan bukan juga sebagai penegasan kepemimpinan laki-laki atas perempuan.
SEBENARNYA dalam wacana dominan Islam, kepemimpinan Islam (khalifah) mulanya diyakini harus dipegang hanya oleh Bani Quraisy, puak yang melahirkan Nabi Muhammad SAW. Konsep ini bersumber pada teks keagamaan yang memuji keutamaan kaum Muhajirin, hadis kepemimpinan Quraisy, dan kesepakatan sahabat pada masa itu. Pada perkembangannya teks ini mendapat banyak kritik, antara lain dari sosiolog Ibnu Khaldun.
Menurut dia, kepemimpinan Quraisy tidak berarti harus orang yang berasal dari suku Quraisy, tetapi pada karakteristik kepemimpinan Quraisy yang karismatik, tegas, bersahaja, dedikatif, kuat, dan adil. Dengan penafsiran ulang itu, definisi kepemimpinan bergeser dari biologis ke sifat dan karakter yang tidak menempel secara biologis, melainkan pada karakter yang bisa diajarkan dan dikonstruksikan (Al Qaradlawi, 1999: 130).
Sangat jelas tafsir keagamaan yang melarang kepemimpinan di luar suku Quraisy lahir dari budaya feodal yang memandang satu suku lebih tinggi dari yang lain. Pandangan ini tidak meletakkan manusia secara sederajat dan setara dan itu tentu saja tidak sejalan dengan semangat Al Quran.
Sama halnya dengan tafsir yang melarang kepemimpinan perempuan di atas. Tafsir itu lahir dalam budaya yang melihat keunggulan lelaki bersifat historis dan sosiologis sehingga menyebabkan peluangnya lebih terbuka dalam mencari nafkah. Semangat ayat itu adalah tuntutan kepada kaum lelaki untuk lebih bertanggung jawab karena mendapat peluang mencari nafkah. Ini sama sekali bukan untuk mengukuhkan keunggulan bersifat biologis.
Landasan penolakan kepemimpinan perempuan yang didasarkan pada teks hadis juga telah lama ditinjau secara kritis oleh para ahli. Dengan menggunakan kritik bahasa, hadis "Tidak akan sejahtera suatu kaum yang mengandalkan kepemimpinannya kepada kaum perempuan" tidak bisa diartikan sebagai hukum pelarangan, melainkan sebagai pemberitahuan.
Seperti diriwayatkan Imam Bukhari, teks hadis ini dimunculkan pertama kali oleh sahabat Nabi, Abi Bakrah ra, ketika ia menolak tunduk pada kepemimpinan Aisyah ra menjelang perang Jamal antara pasukan Aisyah ra, istri Nabi, dan Ali bin Abi Thalib, menantu sekaligus keponakan Nabi. Hadis itu lahir dalam konteks politik yang sangat dramatis di mana umat Islam harus memilih di antara dua orang kesayangan Nabi.
Dalam saat seperti itu legitimasi keagamaan untuk menolak Aisyah pun digunakan dengan menghadirkan hadis tersebut. Abi Bakrah yang menyampaikan hadis itu hidup di daerah Basrah, basis kelompok Aisyah. Hadis itu muncul ketika banyak pihak mempertanyakan sikapnya yang menolak bergabung dengan pendukung Aisyah. Dia mengemukakan alasannya, "Aku tidak ikut berperang karena aku mendengar Nabi SAW pernah bersabda, ’Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada perempuan’" ( Fath al Bari 14/557).
Konteks hadis itu sama sekali tak ada hubungannya dengan kepemimpinan Aisyah. Seperti diriwayatkan Imam Bukhari, teks hadis itu disabdakan Nabi Muhammad ketika menanggapi corak kepemimpinan Kekaisaran Parsia yang mengalami kehancuran. Ibnu Hajar menjelaskan, hadis itu adalah respons Nabi Muhammad atas pengusiran utusan Nabi, Abdullah bin Hudhaifah ra, oleh Kaisar Parsia. Saat itu Kekaisaran Parsia sedang dilanda prahara keluarga dengan terbunuhnya raja dan kerabatnya oleh putra mahkota. Enam bulan kemudian putra mahkota mati diracun pengikut setia ayahnya dan takhta kerajaan pun diserahkan kepada anak perempuannya yang masih belia. Pada saat inilah Nabi menyabdakan hadis di atas, mengomentari situasi sekaligus memprediksi masa depan kerajaan itu (Fath al Bari 8/469-473).
Jika penolakan kepemimpinan perempuan itu didasarkan pada dua teks di atas, sebenarnya telah banyak tafsir yang menghasilkan bacaan berbeda atas kedua teks itu. Tetapi, seperti disampaikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika diminta tanggapannya, dia mengatakan fatwa semacam itu dikeluarkan kalangan tekstualis yang tak menganggap penting menghubungkan teks dengan konteks. Dan, inilah realitas masyarakat Islam Indonesia yang sering disebut masyarakat teks.
Meskipun bersikukuh bahwa fatwa haram pemimpin perempuan tak ada hubungannya dengan dukung mendukung atau tolak menolak kandidat presiden, sangatlah jelas fatwa para kiai Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa Timur itu terkait dengan usaha menolak kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, satu-satunya calon presiden yang perempuan.
Dalam sejarah politik di Indonesia, terutama pascareformasi, setidaknya untuk kedua kalinya penolakan kepemimpinan perempuan dengan menggunakan legitimasi agama ini muncul.
Sebenarnya fatwa kepemimpinan perempuan dalam NU sangat progresif. Seperti sering disebutkan, Munas Alim Ulama NU di Nusa Tenggara Barat bulan November 1997 mengeluarkan fatwa bahwa tidak ada larangan bagi perempuan menjadi pemimpin karena kepemimpinan tidak bisa dinilai berdasarkan jendernya, melainkan pada kemampuannya. Konteks politik saat itu, kalau boleh menambahkan, adalah NU sedang berusaha membaca kondisi riil politik di mana Soeharto punya keinginan untuk mengajukan Siti Hardiyanti Indra Rukmana tampil di panggung politik. Sementara di pihak lain, ada arus politik bawah yang juga sedang mengangkat kepemimpinan Megawati. Fatwa itu tentu saja menjadi sangat bermakna dan fenomenal.
Namun, pada tahun 1999, ketika Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pimpinan Megawati menang secara mengejutkan dalam pemilu legislatif, beberapa tokoh politik Islam-tak terkecuali Gus Dur, Amien Rais, serta Hamzah Haz-menggunakan legitimasi keagamaan untuk menolak kepemimpinan perempuan. Saat itu Amien Rais, misalnya, mengemukakan pernyataan yang menyinggung hati banyak perempuan meskipun mereka bukan pendukung Megawati: "Sepanjang masih ada lelaki yang becus, takkan pernah laki-laki dipimpin perempuan."
Sementara Gus Dur yang belum dipilih Majelis Permusyawaratan Rakyat menyatakan, dia tidak dapat meninggalkan pendapat kiai dan ulama yang melarang kepemimpinan perempuan. Meskipun kita tahu komitmen Gus Dur pada isu perempuan cukup besar, yang dibuktikan dengan keluarnya beberapa kebijakan untuk pemberdayaan perempuan, antara lain tentang pengarusutamaan jender dalam pemerintahan.
Namun, Februari 2000 ketika gelombang penolakan terhadap Gus Dur menguat, para tokoh yang sebelumnya menolak Mega mengadakan pertemuan di Masjid Al Azhar, Jakarta, bersama beberapa tokoh Golkar, PDI-P, dan partai reformasi lainnya. Salah satu keputusan pertemuan Al Azhar itu adalah Islam tidak melarang perempuan jadi pemimpin.
Dalam masyarakat teks, penerimaan dan penolakan kepemimpinan sangatlah berkepentingan menggunakan dalil keagamaan. Dan, kapan fatwa itu dikeluarkan senantiasa terkait dengan kepentingan politik. Saat ini fatwa itu dilempar tidak bisa lain untuk menjegal Megawati. Padahal, selama dalam kepemimpinan Mega, tak ada satu pun dari para kiai itu yang menolak pemerintahan Mega.
Bahkan, Hamzah Haz yang dulunya menolak atas dasar ajaran agama juga tidak menolak menjadi wakil presiden. Selama tiga tahun ia menikmati posisinya sebagai orang kedua Mega tanpa mengingat lagi penolakannya yang menggunakan dalil agama.
Pertanyaannya, mengapa tega mengorbankan akal sehat umat jika keputusan itu hanya untuk kepentingan politik sesaat? Tidak adakah cara lain yang lebih masuk akal untuk meyakinkan umat tentang kegagalan kepemimpinan Mega? Seperti juga cara yang digunakan untuk menurunkan Soeharto yang tanpa menggunakan dalil, melainkan akal budi dan nurani serta tekad untuk terbebas dari tirani?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar