Laman

Kamis, 16 Februari 2012

Penjaga Bioskop

Penjaga Bioskop  
Ugoran Prasad  


INI malam yang istimewa bagi Rusdi. Begitu istimewa sehingga ia membersihkan dirinya. Baginya, ada sesuatu yang akan segera berakhir, dan mungkin tidak akan ada lagi yang bermula. Sudah terlalu tua baginya untuk memulai sesuatu yang lain.
Ketika film diputar, Rusdi menyelinap ke kamarnya di belakang gedung bioskop. Setelah mandi dan menggosok tubuhnya dengan batu kali sehingga kulit kakinya yang tua terluka, Rusdi mengenakan pakaiannya yang terbaik, mematut dirinya di depan cermin, menyemprotkan wewangian, dan menyisir rambutnya yang mulai putih-menipis, berulang kali.
Rusdi mengambil selembar foto yang terselip di ujung cerminnya. Foto itu dipotongnya dari sebuah majalah, puluhan tahun yang lalu, setelah mendapati wajah itu serupa benar dengan Maria. Malam ini Rusdi mengecup potongan majalah itu dengan sepenuh kasih sayang. Sambil menatap sepasang mata Maria, ia berbisik. Suaranya serak, hampir seperti tercekik. Ia merasa sepi. Besok, gedung bioskop ini tidak ada lagi. Lalu, beberapa hari lagi, traktor-traktor besar akan meruntuhkannya.
Ia menyisir rambutnya sekali lagi.
Rusdi keluar dari kamarnya dengan perasaan tak menentu. Ia pikir upacara kecil tadi bisa membuat hatinya lebih tenang. Di dalam gedung, pemutaran film belum selesai. Belasan orang duduk tanpa suara, sebagian terpaku, sebagian lain jatuh tertidur. Rusdi, menatap ke arah layar yang memantulkan sinar kebiruan, merasa sesuatu menggembung di pipinya. Seekor burung gereja yang melintas di atas kepalanya membuatnya urung menangis.
Menahan resah, Rusdi duduk di salah satu kursi paling pinggir. Tidak ada penonton di deret itu. Mungkin karena terlalu rendah, lima atau enam baris dari kursi paling depan. Gedung ini punya 478 kursi, pada 22 deret yang masing-masing berkisar antara 19-25 kursi. Seharusnya bisa lebih. Lima belas tahun yang lalu jumlahnya tepat 500. Kursi-kursi yang rusak itu menurut majikan Rusdi tidak perlu diganti. Percuma. Penonton tidak akan pernah memenuhi bioskop ini. Tidak seperti dulu. 

SEKALIPUN bukan tak pernah ia mencoba menerima keadaan yang sesungguhnya, Rusdi akan selalu ingat malam pembukaan bioskop itu. Kadang hal itu seperti baru saja terjadi kemarin. Itulah malam ketika ia ditakdirkan bertemu Maria. Malam ketika orang-orang mengenakan pakaian terbaik. Para suami berbatik atau berbeskap, para istri berkebaya lengkap. Para lelaki muda mengenakan jas atau kemeja tersetrika rapi. Para perempuan muda memolesi bibir dengan lipstik. Bupati dan seluruh pejabat kota datang. Juga seluruh camat dan lurah, lengkap dengan para istri. Sebelumnya, penduduk kota itu harus menempuh tiga jam perjalanan ke ibu kota propinsi sekedar untuk menonton bioskop. Mulai malam itu, di sisi alun-alun kota, bioskop baru sudah dibuka.
Umur Rusdi 24 saat itu dan ia tak bisa mengingat bagaimana hidup sebelumnya. Samar-samar ia ingat, ia pernah tertangkap-basah mencuri di toko kelontong. Ia ingat, ia menunduk melindungi tubuhnya ketika dipukuli beramai-ramai oleh beberapa anak muda berandalan. Ia tidak bisa membedakan wajah pemukulnya: semua anak muda itu punya tato tahi lalat di dagu, seperti Rano Karno. Begitu samarnya sehingga kini ia terlanjur curiga bahwa kenangan itu dikutipnya dari sebuah film entah berjudul apa.
Lalu ia bekerja dengan upah secukupnya ketika gedung itu di bangun. Tak tahu gedung apa itu, ia hanya bertugas jaga malam. Tugas yang tidak dimaui seorang pun. Di tanah itu semula berdiri sebuah rumah tua sepasang suami-istri Belanda-Jawa dan tiga orang anak mereka. Keluarga itu tewas terbakar di situ dan dikuburkan di halaman belakang. Kabarnya pada saat makam dibongkar dan dipindahkan ke pekuburan umum, tulang-belulang keluarga itu tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Harta benda mereka yang tersisa di rumah tua itu pun raib entah ke mana. Seluruh orang yang terlibat membongkar rumah dan kuburan itu mati hampir secara berurutan.
Namun Rusdi muda merasa tidak takut. Guru mengajinya dulu berkata bahwa ia tidak perlu takut. Ia tinggal di dekat gudang semen dan alat-alat pertukangan. Di antara para buruh bangunan ia disegani karena dianggap orang berisi. Rusdi tidak membantahnya, sekalipun setiap malam sesungguhnya tidurnya nyenyak sekali. Orang-orang sudah terlanjur termakan cerita hantu, siapa pula yang berani mencuri.
Majikannya saat itu orang baik. Ketika pembangunan rampung, Rusdi tetap diminta tinggal dan bekerja untuknya. Sekalipun Rusdi tak tahu apa-apa mengenai bioskop, ia tak bertanya apapun. Suatu malam, ketika gedung itu dicoba, Rusdi merasa menemukan keajaiban. Tidak henti-hentinya ia mengagumi proyektor yang mengilat dan bersih. Mesin itu mengeluarkan suara putaran yang menyenangkan hatinya dan memancarkan sinar yang begitu terang. Rusdi tidak percaya dengan apa yang dilihatnya: ada orang sungguhan yang bergerak di layar, bersuara, menari. Kalau tidak menahan diri, Rusdi mungkin sudah berlari ke arah layar dan menyentuh sosok-sosok itu.
Petugas proyektor lalu menerangkan padanya tentang film. Ia seperti mendengar dunia ajaib. Seseorang pernah bercerita padanya tentang pesawat terbang, tapi yang ini lebih dari sekedar cerita. Ia benar-benar menyaksikannya. 

PEMUTARAN baru saja selesai. Di layar muncul tulisan "sampai berjumpa lagi". Lampu di dalam gedung dihidupkan petugas proyektor. Rusdi tersentak, lalu bergegas ke arah pintu keluar, membukanya, lalu berdiri di tepi dan menunggu. Belasan penonton berjalan perlahan keluar, tidak menunjukkan wajah gembira atau sedih seperti dulu. Mungkin juga tidak ada seorang pun tahu bahwa inilah  malam terakhir bioskop. Tidak ada yang menegurnya, memberikan simpati atau semacamnya. Imran, yang dua tahun terakhir bekerja sebagai petugas proyektor, turun dengan wajah kusam. Mengusung karung dan tas tangan, ia menyalami Rusdi dan tak mengatakan apapun. Keduanya hanya saling mengenal nama, tak lebih. Rusdi melihat laki-laki itu menjauh. Ia dengar dari si penjaga kedai, Imran berencana pindah kota.
Di kedai depan orang-orang masih duduk berkumpul. Sebentar lagi akan lebih banyak botol-botol minuman berserakan dan beberapa orang akan mulai beradu-mulut. Perjudian kecil akan semakin ramai dan perkelahian bisa setiap saat terjadi. Lebih baik Rusdi menghindar, menghadapi kegagalan hidupnya dengan berani, seorang diri. Ia memandang sekeliling sekali lagi. Puluhan tahun ini, Maria tidak datang lagi.
Ia mengenal Maria di malam pembukaan. Perempuan itu datang sendiri dan tampak kebingungan mencari tempat duduk. Rusdi semula mengira ada seseorang yang sedang ditunggunya. Tak mungkin orang secantik dia datang sendiri. Rusdi mengantarnya ke salah satu tempat duduk yang belum terisi dan kalimat terimakasih dari mulut kecil Maria terdengar sungguh-sungguh. Sepanjang pemutaran ada sesuatu yang membuat Rusdi tergerak untuk melintas di dekat perempuan itu. Kalau-kalau perempuan itu membutuhkan sesuatu.
Pada waktu jeda 10 menit, penonton keluar dari gedung. Sebagian berkerumun di kedai, sebagian yang lain ke kamar kecil. Rusdi menemukan Maria di tempat duduknya. Wajahnya tampak bingung dan Rusdi bertanya apa yang bisa dibantunya. Agak terbata-bata perempuan itu menjawabnya, mengatakan bahwa baru saja seekor burung gereja menabraknya. Mendengar jawaban yang mengada-ada itu, Rusdi mengira perempuan itu sebenarnya hanya sedang takut sendirian. Sesudah itu mereka saling bertukar nama. Maria mengaku film membuat hatinya sangat senang dan besok-besok ia berjanji datang lagi.
Sejak malam itu Maria selalu terbayang-bayang di kepalanya. Setiap malam Rusdi pasti menunggu, berdiri di depan pintu masuk, menyobek karcis penonton sambil berharap penonton berikut yang menyodorkan tangannya adalah Maria. Jika Maria tidak datang, ia membesar-besarkan hatinya; besok masih ada dan gedung bisokop itu tidak ke mana-mana. Malam-malam di kamarnya yang dingin, Rusdi berangkat tidur sambil berharap memimpikannya.
Hanya film yang bisa meredakan kegundahannya. Ia tak seperti Marni dan suaminya, penjaga kedai di depan bioskop, yang mengaku sudah bosan. Atau seperti Usman, tukang parkir yang yakin benar dengan gunjing orang-orang bahwa bioskop itu berhantu. Bagi Rusdi, film tak mungkin dikalahkan hantu atau rasa bosan. Ia tak pernah habis pikir bagaimana beberapa tahun bisa berlangsung dalam dua jam, dan bagaimana bocah bisa tumbuh menjadi tua dalam sepuluh menit. Bagaimana pula tokoh jahat, Farouk Afero, bisa mati berkali-kali dan hidup lagi dan lagi. Ia tahu itu semua itu trik kamera, begitu istilahnya. Seseorang bisa saja pura-pura mati dengan mencipratkan obat merah di kemeja. Tapi si Farouk Afero sungguh pernah mati terlempar ke jurang. Padahal sungguh ia berharap, lelaki itu benar-benar mati agar tidak lagi menyakiti Yati Octavia atau Lenny Marlina.
Tak jarang jika ia melihat bintang-bintang film perempuan yang sengsara, ia ingat Maria. Sebab perempuan itu juga menampakkan wajah cemas memelas. Begitu rapuh ia sehingga setiap laki-laki baik-baik pasti ingin melindunginya. Ia curiga jangan-jangan hidup Maria juga dikelilingi orang-orang seperti Farouk Afero yang tega menyiksa dan memperkosa.
Ia sebenarnya menyesal mengapa ia tidak segera bertanya pada malam itu di mana Maria tinggal. Berkenalan dengannya sudah lebih dari sekedar menyenangkan, sehingga pikiran Rusdi berhenti bekerja. Ia tidak pernah membayangkan bahwa Maria akan begitu sulit untuk datang ke bioskop ini lagi.
Penting bagi Rusdi bahwa Lenny Marlina akan mengalahkan Farouk Afero, agar ia tetap dapat berharap. Setiap derita harus berakhir, demikian juga halnya yang menimpa Maria. Tahun-tahun berlalu, dan harapan yang terus dipeliharanya membuat ia selalu melihat Maria di setiap film yang berakhir bahagia.
Ia bahkan tidak lagi melihat Lenny Marlina, Yati Octavia, Jenny Rahman, atau Christine Hakim. Ia melihat Maria dan hanya Maria, seorang diri berhadapan dengan Farouk dan kaumnya, para lelaki bangsat. Sementara pada laki-laki semacam Rano Karno, Rhoma Irama, dan Roy Marten, diam-diam Rusdi melihat dirinya. Ia tahu ia tidak setampan itu tapi ia sama baiknya dengan mereka. Dan seperti mereka, namanya juga diawali huruf R. Seperti juga Ratno Timur sebagai Si Buta, atau bahkan Slamet Raharjo, sekalipun tidak tepat di awal namanya. Semua tokoh laki-laki baik memiliki nama yang diawali huruf R, seperti Romeo.
Rusdi mengunci pintu depan bioskop dari dalam, memejamkan mata tuanya dan berharap ia menghilang. Bertahun-tahun mereka yang tinggal di gedung ini bersaksi bahwa hantu-hantu bersarang di sini. Sekalipun Rusdi sering membantahnya, mengatakan berulang-ulang bahwa tidak sekalipun ia melihat hantu atau merasa dihantui, kabar ini tersebar lebih kuat dari apa yang dikiranya. Apalagi karena beberapa tahun terakhir bioskop ini sepi, bahkan di akhir pekan. Orang-orang lebih suka percaya pada apa yang tidak bisa mereka buktikan, keluh Rusdi pada majikannya. Si majikan tersinggung karena sebelumnya ia meminta Rusdi mencari dukun pengusir hantu.
Satu-satunya yang mungkin diusir dari gedung ini adalah burung-burung. Mereka bersarang di gedung ini. Rusdi sering mengeluh, mengatakan bahwa setiap hari kotoran burung gereja begitu banyaknya sehingga perlu setengah-siang untuk membersikannya.
Pada suatu hari satu atau dua tahun yang lalu seorang perempuan asing, entah dari Cina atau Jepang yang mengaku sebagai pengamat burung, pernah datang ke bioskop. Dalam bahasa yang terbata-bata ia menyatakan keheranannya: ia bercerita bahwa ia telah mengamati seluruh kota ini dan menyimpulkan bahwa habitat burung gereja sudah rusak karena polusi, kecuali di gedung ini. Bagi Rusdi, perempuan itu pun tak bisa mengusir burung-burung. Beberapa hari ia hanya menyodor-nyodorkan mikrofon perekamnya ke seluruh sudut gedung. Ia tidak pernah membantu Rusdi membersihkan kotoran burung.
Selain perempuan Cina itu, tidak ada yang peduli. Marni atau suaminya hanya sesekali menyinggung perkara burung-burung ini. Itupun lebih sering dalam bentuk sindiran. Mereka baru tampak bersungguh-sungguh jika membicarakan perihal hantu. Marni selalu membuat Rusdi merasa berada dalam sebuah adegan di mana tokoh-tokoh utama bertemu dengan tokoh-tokoh jahat perempuan. Ada yang culas pada senyumnya, tatapan matanya, cara bicaranya. Ada yang selalu bisa tidak dipercaya. Sementara suaminya selalu berperan sebagai laki-laki bodoh suruhan penjahat yang tak perlu diingat namanya, bahkan sampai kisah berakhir.
Sepasang suami istri inilah yang menyebar cerita tak sedap tentang Rusdi, beberapa tahun yang lalu. Setiap pedagang di ruas jalan tempat bioskop itu berada akan menjauh setiap kali Rusdi lewat dan menyapa. Ia mendapati dirinya dicurigai sebagai pawang hantu di bioskop itu dari suatu percakapan yang kebetulan didengarnya dari sepasang bocah yang sedang bertengkar berebut layangan. Salah satu bocah mengancam akan menjadikan bocah yang lain bahan sesajen hantu-hantu Dukun Rusdi jika ia tidak memberikan layangannya. Rusdi terkesiap, namun waktu membuatnya kehilangan alasan untuk peduli. Selama bioskop ini masih dipercayakan padanya, ia  tetap mengabaikan gunjing semacam itu.
Rusdi mematikan lampu. Dalam gelap ia merasa pernah mendengar kepak sayap burung-burung yang riuh itu dari suatu tempat. Ia melangkah sedikit lebih tenang. Sudah lama ia berpikir bahwa Maria sangat mungkin adalah seorang tokoh di sebuah film, entah berjudul apa. Malam ini ia memutuskan untuk percaya sepenuhnya bahwa di film itu Lenny Marlina berperan sebagai Maria. 

ESOK harinya Marni menyumpahi segala-galanya. Laki-laki tua penjaga bioskop itu memang harus mati pada akhirnya, tapi bukan dengan cara yang tidak wajar semacam ini. Kematian yang membuat orang datang berduyun-duyun ke bioskop ini. Siang menjadi lebih panas dan gerah dari biasanya.
Di kamar Rusdi, polisi menemukan poster Farouk Afero dicoret dengan darah membentuk tanda silang. Siang itu juga, atas saran suami Marni, beberapa dukun dipanggil si pemilik bioskop untuk berjaga-jaga kalau-kalau Rusdi melepaskan ilmu hitamnya. Adapun polisi belum bisa memutuskan apakah kasus ini bunuh diri atau pembunuhan. Guratan di tangan Rusdi seperti tidak datang dari pisau yang disayatkan memanjang, melainkan seperti tikaman-tikaman pisau kecil yang runcing. Pisau seukuran jari bocah kecil. Seukuran paruh burung gereja, kata Marni menggigil. Kecurigaan polisi tidak mempengaruhi pandangan orang-orang. Bagi mereka, Rusdi tak kuat menanggung kenyataan bahwa bioskop ini hendak dibubarkan. Bunuh diri karena putus asa, kata si tukang parkir.
Entah dari film apa Rusdi mendapat gagasan memotong urat nadi di tangannya. Selembar foto di tangannya bersimbah darah. Orang-orang semula mengira foto itu adalah seorang bintang film tempo dulu. Tapi pemilik bioskop bersumpah bahwa foto itu persis sama dengan lukisan Maria Sutirah yang digantung di ruang tengah rumah keluarganya. Ia tidak bisa menerangkan siapa Maria Sutirah, nama yang ditemukan di bagian belakang lukisan, yang diambil selama proses pembongkaran rumah Belanda di tanah tempat bioskop itu kemudian berdiri. Ayahnya, pemilik bioskop sebelum dia, memasangnya di ruang tengah karena lukisan itu terlihat antik.
Sorenya Marni bertambah geram lagi. Kepada seorang perempuan asing, mungkin dari Cina, Marni berteriak-teriak dengan suara nyaring dan tinggi. Jika perempuan itu tidak menyodorkan uang puluhan ribu, pastilah Marni akan mengusirnya. Uang itu juga meluluhkan hati suami Marni. Sore itu di dalam gedung bioskop, di antara burung-burung gereja, laki-laki yang sepintas garang itu mengikuti ke mana pun perempuan Cina itu menyodorkan mikrofon perekamnya.

DI ruang kerjanya, Takeshi Ito terperangah tak percaya. Ia menatap kertas fax itu, membaca kanji di atasnya berulang-ulang seolah huruf-huruf itu menyusun kalimat yang berbeda setiap kalinya. Ia mendapatkan kiriman CD berisi file suara dari seorang kawan lamanya. Perempuan Jepang keturunan Cina itu mendapatkan suatu keganjilan di balik rekaman gelombang penelitian burungnya. Kepada Takeshi, ia ingin memastikan apakah file itu suara manusia sebagaimana yang dikiranya. Hanya kurang dari satu jam, Takeshi berhasil memisah frekuensi di file berekstensi wav. itu dan menemukan apa yang dimaksudkan rekannya. Ia meningkatkan decibel keseluruhan dan mendapatkan suatu percakapan dalam bahasa asing yang diselingi suara distorsi pendek dan dalam yang tidak mungkin diatasi lagi.
Rasa penasaran mendorongnya bertanya arti percakapan itu.
Fax pendek yang diterimanya dari sahabatnya, si peneliti burung, diawali dengan kesaksian bahwa tidak ada seorang pun yang bersuara selama perekaman. Ia menduga, beberapa sudut anomali di ruang bioskop itu mampu menyimpan percakapan pada frekuensi tertentu yang keluar dari spiker bioskop. Takeshi tidak bisa menjelaskan mengapa gedung itu, secara harfiah, benar-benar bisa menyimpan kenangan.
Di lembar fax, rekannya sempat khawatir dengan penerjemahan bebas yang dilakukannya, sebab ia tidak terlalu mahir menggunakan bahasa pasar orang Indonesia. Namun ia yakin bahwa terjemahan ini tak meleset artinya. Terjemahan dari percakapan sepasang lelaki dan perempuan itu berbunyi demikian.
"Kenapa kamu tak datang?"
"Aku datang. Aku di sini terus. Aku menemanimu terus."
"Kamu tidak datang. Aku menunggumu terus. Sampai putus asa."
"Aku sudah mengirimkan burung-burung untukmu."
(Diam. Lama)
"Kamu mengirimnya untukku?"
"Ya."
"Tanganku sakit. Aku tidak suka burung-burung itu."
"Aku juga, aku sudah tidak membutuhkannya."
"Pernah kubilang bahwa kamu lebih cantik dari Lenny Marlina?"
Takeshi Ito merasa melihat seekor burung gereja sepintas hinggap di jendelanya. 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar