Selasa, 07 Februari 2012

Rahwana Binasa

Rahwana Binasa
Cerpen: Aen Trisnawati


AYODYA masih terlalu pagi saat sepasang kaki raksasa melangkah mengendap-endap. Ia mencari tempat strategis yang bisa membuatnya melihat dengan leluasa ke dalam rumah yang diintainya. Ia harus tetap waspada demi misi yang kedua ini. Kegagalan tidak boleh terulang. Selama ini sudah cukup bila dunia selalu menjadikannya simbol kejahatan. Simbol angkara murka. Tak pernah mereka melihat dirinya dari dekat bahwa ada kelembutan tersembunyi yang selalu ia sembunyikan. Ia rela dicemooh sebagai pemilik sisi hitam asalkan jagat kosmos ini seimbang. Toh, ia juga tidak ingin melihat kehancuran sebagai akibat dari ketidakseimbangan itu. Ia hanya bisa pasrah.

"Ya ampun, aku kesiangan!" Shinta menjerit. Disingkapkan selimut yang membalut tubuhnya dengan tergesa. Si pengintai terus mempertajam penglihatannya. Ia perhatikan kekasihnya yang tergesa di dapur menyiapkan sarapan, mencuci pakaian, menyapu lantai, dan seterusnya hingga diakhiri dengan ritual mandi dan mengharumkan tubuh.

"Kakang Rama, bangun! Nanti Kakang terlambat ke hutan," Shinta membangunkan suaminya. Rama menggeliat. Perlahan matanya membuka.

"Hooaaam. Iya, hari ini Kakang mau menangkap buruan istimewa." Setengah terkantuk, Rama mengecup kening Shinta kemudian melangkah ke kamar mandi. Sementara itu, Shinta menyiapkan pakaian dinas yang biasa dipakai suaminya berburu. Disiapkan pula busur dan anak panah yang telah diasah dengan tajam. Dipandanginya tumpukan anak panah yang berwarna-warni. Setiap warna memiliki kekuatan tertentu. Ia teringat bahwa suaminya akan menangkap buruan istimewa. Maka dipilihnya anak panah berwarna merah. Karena warna merah melambangkan keberanian dan kekuatan.

"Kenapa anak panahnya merah semua? Kakang sudah bilang mau menangkap buruan istimewa. Seharusnya panah warna emas agar kuat," Rama berteriak begitu selesai mandi.

"Bukankah panah Guwawijaya sudah patah waktu memburu Rahwana tempo dulu," Shinta menjelaskan. Mendengar namanya disebut, si pengintai makin mempertajam kekuatan penginderaannya.

"Kakang bilang warna emas, bukan Guwawijaya. Apa kemarn Kau tak membelinya di pasar, Dik? Makanya jangan hanya bisa menghambur-hamburkan uang!"

Shinta tak menjawab, karena menjawab artinya memperpanjang pertengkaran.

"Ya, sudah. Tidak apa-apa. Hari ini Dik Shinta harus membeli panah emas itu di pasar. Kakang barangkat dulu," ucap Rama lalu tergesa keluar rumah.

"Tidakkah lebih baik Kakang sarapan dulu?" Shinta berteriak agar terdengar suaminya.

"Di hutan banyak buah-buahan. Kakang sudah kesiangan." Dalam sekejap Rama telah melesat menuju hutan. Shinta menghela napas berat. Rahwana, si pengintai, semakin geram pada musuh bebuyutannya itu. Ia tak sabar menunggu kesempatan untuk membebaskan Shinta dari penderitaannya.

**

BEGITU kesempatan yang ditunggunya tiba, segera ia menyamar sebagai tukang becak. Kemudian ditawarkan jasanya dengan hati berdebar. "Becak, Nak?" Shinta tidak tega membiarkan lelaki renta tukang becak itu berlama-lama menunggu muatan. Ia pun naik, "Ke pasar, Pak!" ucapnya.

Becak tidak melaju ke arah pasar, dengan kecepatan luar biasa, Rahwana malah mengayuhnya ke arah lain. Menyadari hal ini, Shinta menjerit-jerit ketakutan. Rahwana tak menghiraukannya bahkan hingga perempuan cantik itu tak sadarkan diri di puncak ketakutan tak terkira.

"Alengka?" gumam Shinta begitu terbangun beberapa saat kemudian. Tempat yang tak pernah bisa dilupakannya.

"Lagi-lagi kamu, raksasa tak tahu malu! Lekas kembalikan aku pada suamiku?" Shinta meraung begitu tahu Rahwana ada di sampingnya.

"Sabar, Dik Shinta. Aku tak bermaksud jahat," Rahwana mencoba menjelaskan.

"Apa lagi maumu?"

"Dik Shinta, aku hanya ingin memastikan apakah kau bahagia hidup bersama suamimu itu. Aku tak ingin pengorbananku sia-sia. Selama ini aku dicemooh dunia, dicap biang kerok, namun selalu kubiarkan. Itu demi kau, Dik Shinta," Rahwana memelas. "Pengorbanan? Kau menculikku dan pantas menerima akibatnya. Itu balasan atas sikap tak senonohmu terhadapku," mata Shinta melotot penuh amarah bercampur benci.

"Terserah apa katamu, Dik. Toh, dirimu telah didoktrin racun ikut-ikutan. Aku rela kau bersamanya. Aku terima kekalahan ini. Tapi aku tidak akan diam jika melihat dirimu disia-siakan. Aku tidak tahan melihatnya. Tidak rela!"

"Apa hak dan alasanmu mengatakan aku disia-siakan?"

"Aku tidak memiliki hak apa pun. Tapi sebagai seseorang yang mencintaimu, aku merasa perlu membebaskanmu," dengan kesabaran yang beberapa puluh tahun dipelajarinya, Rahwana mencoba tidak terbawa emosi.

"Aku tahu, dia hanya menjadikanmu sebagai budak. Setiap hari harus mengurusi pekerjaan rumah tangga yang begitu berat. Belum lagi bentakan-bentakan yang tak berdasar. Apakah kehalusan hatimu tidak mampu merasakan kekasarannya? Padahal, jika benar mencintaimu, dia bisa menyewa babu untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah. Bukankah dia telah dicap sebagai pahlawan terkenal karena berhasil mengalahkanku dalam memilikimu dan karenanya pula menjadi kaya raya?" Rahwana memperlihatkan ketulusan.

Tiba-tiba saja di kepala Shinta berkelebat bayangan peristiwa tadi pagi. Hatinya mulai melunak. Rahwana segera memanfaatkan kesempatan itu untuk terus mengambil hati pujaannya.

"Dik Shinta, aku ingin meng-akhiri penderitaanmu. Aku masih mencintaimu dengan tulus. Memang, dulu aku kurang ajar dan membuat malu Dik Shinta di depan orang banyak."

Shinta mengangkat wajahnya yang mulai basah. Ia membayangkan suaminya tidak akan mencarinya seperti dulu; tidak akan merebutnya lagi dengan bertaruh nyawa seperti dulu. Shinta semakin sesegukan. Hatinya semakin limbung.

"Rahwana, apakah kamu benar-benar mencintaiku?"

"Tentu saja, Dik!" mata Rahwana berbinar.

"Apa buktinya?"

"Apa pun yang Dik Shinta mau."

Shinta merenung. Hatinya terombang-ambing oleh kebahagiaan yang dijanjikan Rahwana. Ia tahu Rahwana telah berubah. Hati halusnya mengatakan demikian. Ia tidak mendeteksi adanya kebohongan di mata raksasa itu. Inikah saat yang tepat untuk membuktikan pada dunia bahwa ia adalah perempuan hebat yang tidak melulu berlindung di ketiak laki-laki?

"Jika aku ingin jadi wanita karier, apa kau akan menginzinkan?"

"Ya. Aku pun sepakat, perempuan memang harus maju, tidak hanya sebagai penghuni rumah. Dik Shinta pasti bosan di rumah saja, bukan?"

Shinta mengangguk. Selama ini kesempatannya untuk keluar rumah hanya saat ke pasar, selebihnya hanya sekitar dapur, sumur, dan kasur. Ia ingin potensinya sebagai perempuan cerdas diakui. Ia ingin mandiri. Namun tiba-tiba tubuhnya menghentak. Seolah ada semburat sinar dari kahyangan yang menyadarkannya, bahwa selama ini ia bangga menjadi tempat suaminya mengadu atas segala kegundahan di tempat kerja, atau dari ketakutan saat hutan menenggelamkannya dalam resah sunyi, serta menjadi tempat pulang yang nyaman dan hangat.

Ya. Selama ini ia merasa nyaman dengan semua itu. Dunia mengakui bahwa ia adalah perempuan yang bisa mempertahankan rumah tangga, yang bisa menjaga kehormatan diri sebagai seorang istri. Dan itu sudah lebih cukup dari semua yang diinginkannya.

"Tidak Rahwana. Terima kasih. Aku baik-baik saja," Shinta berucap dengan muka lembut.

"Maksud Dik Shinta?" Rahwana tampak kaget dengan perubahan yang tiba-tiba.

"Aku sudah cukup bangga dengan yang kualami selama ini."

"Dik Shinta..."

"Tugasku adalah membuat suami tenang setelah seharian gundah di medan perang, di tengah perburuan, dan di tengah kemelut dunia luar. Harus ada yang menjadi air di tengah kobaran api agar tidak terjadi kebakaran hebat. Aku rela menjadi muara tempat suami pulang, karena aku terlahir sebagai perempuan yang dikodratkan memiliki kesabaran lebih. Aku ingin membaginya. Jika ada kaumku yang berseberangan, itu karena sebuah pilihan. Biarlah. Aku dituntut bersabar atas api yang dikobarkan suami; itu konsekuensi. Akulah air yang bertugas memadamkan kobaran itu."

"Dik Shinta?"

"Aku menjalaninya dengan penuh kerelaan. Tak ada yang bisa menggugatnya. Aku bahagia. Sungguh!" sambil mengatakan itu, air muka Shinta memancarkan cahaya yang membuat nyaman dan teduh.

Rahwana terdiam. Ia renungi semua yang baru saja dialaminya. Lagi-lagi cintanya tak berbalas. Ingin sekali ia marah dan memaksa Shinta seperti dulu, tapi ia bosan jika terus menerus menjadi simbol kejahatan. Bukankah ia datang kembali pada Shinta untuk membuktikan bahwa dirinya telah berubah. Untuk yang pertama dalam hidupnya, Rahwana meneteskan air mata. Takdir mengharuskannya terus menjadi pihak yang kalah.

Rahwana tersenyum sambil menghapus air mata. Diembuskannya napas berat yang sedari tadi membuat dadanya sesak.

"Aku antar kau pulang, Dik, mumpung belum malam. Sampaikan salamku pada Rama, suamimu. Katakan bahwa ia harus menjagamu baik-baik."

Shinta ikut tersenyum. Ada keharuan yang sangat di senja itu, saat mentari perlahan pulang ke barat langit. Waktu yang ditakdirkan Tuhan baginya untuk istirahat supaya esok bisa bekerja, menghadiahi jagat raya dengan semburat sinarnya.

Dalam hati Shinta bertekad untuk lebih berani bicara menyampaikan keinginannya, sebab berbicara bukan hanya milik laki-laki.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar