Laman

Sabtu, 18 Februari 2012

Sandiwara Kamar Nomor 12

Sandiwara Kamar Nomor 12 
Cerpen: Teguh Winarsho AS 


SETELAH tahun-tahun luruh menjelma keriput, uban, dan tubuh gemetar, apalagi yang bisa kuingat dari semua kejadian itu?

Stasiun Tugu siang hari. Ini adalah perjalanan pertamaku dengan kereta yang akan mengantar impianku menjadi seorang pemain sandiwara terkenal. Masih kuingat senyum Ndoro Mantri yang mengantarku sampai pintu gerbang rumahnya. Ada getar lembut di mata laki-laki tua itu. Ada ketulusan yang terpancar. Ia mengizinkan aku keluar sebagai abdi dalem di rumahnya dan mendorong cita-citaku menjadi pemain sandiwara. Ya, ini kesempatan emas yang sudah lama kutunggu. Mungkin sejak aku kanak-kanak, ketika Belanda masih berkuasa dengan pongah. Atau, sejak kematian bapak di siang bolong hanya beberapa saat setelah kuhidangkan teh panas kesukaannya.

Masih kukantongi selembar tiket pertunjukan sandiwara grup Pantja Soerja sewaktu pentas di ndalem Notoprajan. Aku selalu terpukau melihat penampilan mereka. Diam-diam sudah lama aku ingin menjadi bagian dari mereka. Menjadi orang yang selalu dielu-elu kehadirannya. Disambut takjub dan hangat. Ditatap binar beratus pasang mata. O, seandainya bapak masih hidup, tentu beliau akan senang melihat anak perempuan bungsunya sedang mengejar cita-cita menjadi pemain sandiwara. Tapi aku pergi diam-diam, sebab kakak-kakakku tak mengizinkan.

Stasiun Tugu masih sepi. Beberapa tentara Jepang kulihat mondar-mandir. Aku duduk di bangku ruang tunggu bersama teman-teman yang sudah datang lebih awal. Ada dua puluh orang lebih, semuanya perempuan. Menurut jadwal, kereta akan berangkat pukul setengah dua siang. Kami tinggal berangkat. Semua tiket dan surat jalan sudah diurus oleh Samadikoen, pimpinan grup Pantja Soerja yang merekrut kami.

Tapi, laki-laki kerempeng yang tak pernah berhenti merokok itu belum kelihatan batang hidungnya. Juga dokter Seighenji yang tempo hari memeriksa kesehatan kami. Tak kuduga mata laki-laki tua Jepang yang sipit itu rupanya bisa mengerjap lebar ketika melihat tubuhku telanjang. Kami semua tak luput dari pemeriksaan jika ingin berangkat. Kami harus menanggalkan semua pakaian untuk diperiksa. Aku sempat heran, kenapa untuk menjadi pemain sandiwara harus diperiksa begitu rupa? Tapi aku tak berani protes. Aku takut tak bisa berangkat. Benar, tidak semuanya bisa lolos. Tapi aku beruntung bisa lolos setelah memalsu umurku. Aku masih tiga belas tahun, tapi aku bilang enam belas. Tubuhku memang subur. Beberapa hari kemudian Samadikoen datang menemuiku untuk memastikan keberangkatanku.

Aku segera menemui Ndoro Mantri untuk minta izin. Memang agak berat mengutarakannya, mengingat kebaikan keluarga Ndoro Mantri padaku. Mereka sudah menganggapku seperti keluarga sendiri, bukan abdi dalem yang harus membungkuk-bungkuk dengan pekerjaan bertumpuk. Aku justru merasa betah tinggal di rumah Ndoro Mantri daripada di rumah Paman di Sosrowijayan, beberapa minggu setelah kematian bapak. Paman terlalu mengekangku hingga aku nyaris tak punya teman bermain. Di rumah Ndoro Mantri aku bebas melakukan apa saja setelah semua pekerjaan selesai. Aku suka pergi ke ndalem Notoprajan untuk nonton sandiwara. Di luar dugaanku, Ndoro Mantri mengizinkan aku berangkat!

Borneo. Aku baru mendengar nama itu. Tapi aku harus pergi ke sana demi cita-citaku. Kutinggalkan kampung halaman dan segenap kenangan bersama bapak dan Ndoro Mantri. Di Borneo aku akan menjemput impianku menjadi pemain sandiwara. Menjadi bintang terkenal! Tapi menunggu Samadikoen berjam-jam di stasiun membuat hatiku gusar. Aku khawatir tak jadi berangkat. Beberapa tentara Jepang masih mondar-mandir membawa bedil.

Tak lama kemudian Samadikoen datang tergopoh-gopoh. Napasnya ngos-ngosan, wajahnya pucat. Samadikoen segera menyuruh kami naik di gerbong lima, dekat gerbong makan. Inilah awal perjalananku yang sebenarnya. Ke Surabaya. Deru kereta membelah senyap hutan, ladang, dan sawah-sawah. Sedetik pun kami tak memejamkan mata lantaran bahagia. Aku, dan banyak lagi yang lain, memang baru pertama kali naik kereta. Kukira aku akan mabuk, seperti naik bus. Tapi ternyata tidak. Angin yang masuk dari jendela terus membuat tubuhku segar.

Sepanjang perjalanan Samadikoen lebih banyak diam, duduk di bangku pojok, merokok. Entah sudah berapa batang rokok dihabiskan, sepertinya mulut laki-laki itu tak pernah lepas dari rokok. Wajahnya gelisah, jidatnya sesekali berkerut, pandangannya kosong. Aku sebenarnya ingin mengajak Samadikoen ngobrol seputar sandiwara, tapi aku takut justru mengganggunya. Akhirnya aku memilih ngobrol dengan teman-teman, bercanda dan tertawa. Perjalanan yang menyenangkan ini dalam sekejap membuat aku lupa dengan kampung halaman yang baru kutinggalkan. Pikiranku terus melayang di Borneo, di mana aku akan memulai karierku menjadi pemain sandiwara.

Tengah malam kami sampai di Surabaya. Kami dijemput dengan truk yang dikemudikan oleh seorang tentara Jepang. Awalnya aku merasa aneh, karena setahuku tak ada tentara Jepang yang terlibat dalam perjalanan ini, kecuali dokter Seighenji yang memang diperlukan karena profesinya sebagai dokter. Tapi aku segera melupakan keanehan itu. Perasaan bahagia mengalahkan semuanya. Lagi pula teman-teman lain tak ada yang merasa curiga. Truk segera bergerak membelah Kota Surabaya yang sudah tidur lelap. Kami tak tahu mau dibawa ke mana. Samadikoen duduk di depan bersama sopir.

Beberapa saat kemudian truk berhenti di halaman rumah yang lumayan besar. Beberapa lampu di dalam rumah menyala terang. Setelah turun baru kuketahui rumah itu milik Bang Sani, salah seorang anggota grup sandiwara Pantja Soerja. Kami menginap di sana. Meski tak kenal dengan Bang Sani, aku sudah sering melihat penampilannya saat pentas di ndalem Notoprajan. Hampir satu minggu kami menginap di rumah Bang Sani sambil menunggu kapal menuju Borneo, Kalimantan. Sepanjang hari kami hanya disibukkan dengan jalan-jalan di Kota Surabaya.

Akhirnya kapal yang ditunggu datang. Inilah perjalanan yang paling meletihkan. Selama dua hari dua malam kami berada di tengah laut, dihempas gelombang dan badai. Berkali-kali aku mabuk dan hampir pingsan. Aku sering berpikir, apa yang terjadi jika kapal yang kutumpangi tiba-tiba tenggelam? Bagaimana dengan impianku? Cita-citaku? Tapi, meski sesekali oleng, kapal itu terus melaju. Ada banyak tentara Jepang di dalam kapal. Bahkan kukira merekalah yang bertindak sebagai anak buah kapal. Lalu, suatu malam, di tengah udara dingin menikam dan dalam samar cahaya bulan, aku melihat beberapa orang yang berangkat bersama kami dari Surabaya, berhubungan intim dengan anak buah kapal. Aku miris dan nyaris tak percaya menyaksikan pemandangan itu.

Pagi hari kami tiba di Kalimantan. Kakiku gemetar menginjak tanah Kalimantan. Inilah tempat yang akan menyulapku menjadi pemain sandiwara terkenal. Tapi udara masih terlalu dingin. Tubuhku terus menggigil. Perutku lapar karena selama di kapal aku kehilangan nafsu makan. Lagi-lagi kami dijemput truk dengan sopir tentara Jepang. Aku semakin merasa aneh, apalagi sejak menyaksikan pemandangan tak senonoh di atas kapal. Tiba-tiba aku sering disergap cemas. Bayang-bayang buruk terus menghantuiku seperti hantu. Tapi, tak ada lagi tempat untuk bertanya. Teman-teman tak ada yang tahu mau dibawa ke mana. Berkali-kali aku mencari Samadikoen, tapi laki-laki kerempeng perokok berat itu seperti sengaja menyembunyikan dirinya.

Satu setengah jam kemudian truk berhenti di depan sebuah rumah panggung besar terbuat dari papan kayu yang kelihatannya masih baru. Rumah itu mirip asrama dengan puluhan kamar di dalamnya. Ada pagar setinggi hampir empat meter mengelilingi asrama dengan pintu gerbang dijaga ketat beberapa tentara Jepang. Ini benar-benar pemandangan ganjil. Aku semakin yakin banyak tentara Jepang yang terlibat dalam perjalanan kami. Tapi untuk apa?

Turun dari truk kami digiring masuk ke dalam asrama. Masing-masing dari kami mendapat jatah kamar, pakaian, sarapan pagi, dan peralatan mandi. Aku menempati kamar nomor dua belas dengan jendela di belakang yang jika dibuka akan segera berhembus bau lumpur dan tumbuhan segar. Setelah mandi dan sarapan pagi kami disuruh istirahat. Selama beberapa hari kami tinggal di asrama, hanya makan dan tidur, tak boleh keluar. Diam-diam aku menunggu kapan kami dilatih main sandiwara. Tapi Samadikoen tak pernah muncul, juga Bang Sani. Aku sering bertanya-tanya, siapa yang mau melatih kami bermain sandiwara? Apakah tentara Jepang? Kapan kami mulai latihan?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus melingkar-lingkar dalam kepalaku, hingga suatu malam, malam yang bertabur gerimis pedih kutemukan semua jawabannya. Aku baru selesai makan sore ketika kudengar seseorang mengetuk pintu kamar. Aku mengira yang mengetuk pintu penjaga asrama, tapi ternyata seorang tentara Jepang. Ia langsung masuk begitu pintu kubuka dan menguncinya dari dalam. Ia tersenyum dan sempat menyapaku dengan bahasa Jepang, pendek-pendek, tapi aku tak tahu artinya. Berkali-kali kudengar ia memanggil namaku Haruye. Padahal namaku Lasiyem.

Suasana asrama begitu lengang. Aku tiba-tiba merasa takut berhadapan dengan laki-laki itu. Mestinya aku berpikir bahwa laki-laki itu akan melatih main sandiwara. Tapi pikiran seperti itu sama sekali tak muncul di kepalaku. Aku justru menemui kenyataan lain, bayang-bayang buruk terus mengepung kepalaku. Firasatku mengatakan sesuatu buruk bakal menimpaku. Benar. Senyum laki-laki itu semakin lebar, menyeringai, sambil melepas pakaiannya. Dadanya penuh bulu. Giginya cokelat, kumisnya terus bergerak-gerak. Ada kilat di matanya menikam tubuhku. Ia mulai berjalan pelan mendekatiku. Aku menggigil di pojok kamar. Aku ingin menjerit, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutku. Aku ingin lari, tapi aku tahu pintu sudah dikunci.

Aku masih meringkuk di pojok kamar, saat kurasakan tangan kekar laki-laki itu menarik lenganku dari belakang. Aku berusaha menepis tangan laki-laki itu, tapi tak berhasil. Tangan laki-laki itu kukuh dan justru semakin bernafsu. Menyentak tubuhku ke dalam dekapannya, dipeluk erat, lalu dihempas ke atas ranjang. Aku merasakan ngilu di pinggangku membentur gigir ranjang. Dan, aku hanya bisa menangis saat laki-laki itu mulai melepas paksa pakaianku. Malam mendidih. Impianku menjadi pemain sandiwara musnah. Cita-citaku menjadi bintang pudar. Laki-laki Jepang itu terus menyuruk-nyurukkan mulutnya yang bau tembakau. Dan, rupanya malam masih teramat panjang. Lebih panjang dari derita awal yang kualami. Usai laki-laki itu melampiaskan berahinya, datang lagi teman-temannya yang lain, bergiliran sampai pagi. Ketukan pintu membuat aku takut, serasa ingin bunuh diri.

Setiap malam aku harus melayani berpuluh laki-laki Jepang yang tak bisa kuingat wajahnya satu per satu. Ah, tidak! Tidak! Ada dua orang yang masih kuingat. Hikaro dan Nikimura. Keduanya sama-sama tentara Jepang yang masih cukup muda. Tapi berbeda dengan Hikaro yang sikapnya halus, lembut, dan sopan, Nikimura kasar, suka membentak dan memukul. Berulang kali Nikimura memukulku tanpa kuketahui apa penyebabnya. Ia bahkan pernah meludahi wajahku sambil bersungut-sungut keluar kamar. Suatu kali aku baru tahu apa penyebab kemarahan Nikimura yang sering membabi buta itu. Nikimura cemburu pada Hikaro. Ia selalu berprasangka bahwa aku memberi layanan istimewa kepada Hikaro, tapi tidak pada dirinya.

Hikaro mungkin memang pantas dicemburui. Ia tampan dan sangat baik. Setiap kali datang, Hikaro selalu membawa buah-buahan dan kadang pakaian baru. Seandainya benar aku memberi layanan istimewa kepada Hikaro, mungkin itu di luar kesadaranku. Hikaro bisa bahasa Indonesia meski cedal, patah-patah. Ia sering mengutarakan perasaan cintanya padaku. Bahkan bersedia mengawiniku. Aku geli mendengarnya. Aku sudah sering mendengar ungkapan serupa dari banyak laki-laki Jepang, termasuk Nikimura. Kukira semuanya hanya omong kosong belaka.

Tapi rupanya Hikaro sangat serius dengan ucapannya. Dalam setiap pertemuan ia selalu menegaskan ucapannya itu. Ia benar-benar ingin mengawiniku, bahkan sudah menyiapkan tempat tinggal di pinggir Kota Banjarmasin. Hikaro tak tega melihat aku menderita setiap malam harus melayani teman-temannya, terutama Nikimura. Ya, Nikimura! Belakangan baru kuketahui rupanya Hikaro juga tak suka dengan Nikimura. Mereka diam-diam saling bersaing merebut simpatiku. Tapi Hikaro bingung bagaimana caranya mengeluarkan aku dari asrama. Ia tak ingin orang lain tahu, apalagi Nikimura yang pasti akan marah besar.

Karena masih belum punya cara mengeluarkan aku dari asrama, akhirnya Hikaro rela mengeluarkan uang yang tak sedikit kepada pengelola asrama untuk mengontrakku selama empat hari dalam seminggu. Artinya, selama empat hari aku tak boleh melayani tamu lain kecuali Hikaro. Tentu saja aku senang. Aku bisa punya banyak waktu istirahat karena tidak setiap hari Hikaro datang. Bahkan kadang ia hanya datang sekali atau dua kali dalam empat hari masa kontraknya. Meski jarang tapi cukup berkesan. Setiap minggu Hikaro selalu memperbarui kontraknya. Mungkin seandainya Hikaro punya uang banyak ia akan mengontrakku selama tujuh hari atau satu minggu dan akan terus diperbaharuinya, hingga aku hanya menjadi miliknya.

Tapi tanpa sepengetahuan Hikaro, diam-diam Nikimura mengambil kontrak tiga hari sisa dari kontrak Hikaro dalam seminggu. Nikimura juga selalu memperbaharui kontraknya setiap minggu. Nikimura seperti tak mau kalah bersaing dengan Hikaro. Aku sengaja merahasiakan masalah ini pada Hikaro, takut menyakiti hatinya. Tentu Hikaro lebih senang jika selama tiga hari sisa kontraknya aku melayani banyak laki-laki daripada hanya seorang laki-laki dan itu bernama Nikimura!

Berbulan-bulan aku menyimpan rahasia ini. Berbulan-bulan aku hanya melayani dua orang, Hikaro dan Nikimura. Hikaro adalah kelembutan dan kasih sayang. Sedangkan Nikimura adalah teror keberingasan yang selalu menyakitkan. Suatu hari aku merasakan perutku sakit, mual, muntah. Dokter yang setiap hari Sabtu datang ke asrama mengatakan bahwa aku hamil. Aku kaget luar biasa. Bukan hanya soal kehamilan itu saja. Tapi lebih pada janin siapa yang ada di perutku. Hikaro atau Nikimura. Hikaro pernah berkata ingin mengawiniku dan punya anak denganku. Tapi perutku masih tampak langsing tak memperlihatkan bahwa aku sedang hamil. Seperti biasa aku masih melayani Hikaro dan Nikimura tanpa kecurigaan sedikit pun.

Selama di asrama aku tak pernah tahu perkembangan berita di luar. Semua informasi dari luar seperti sengaja diputus. Tapi aku sudah tak punya keinginan menjadi pemain sandiwara. Cita-cita itu sudah kukubur dalam-dalam. Suatu malam aku mendapat berita mengejutkan dari penjaga asrama yang mengatakan bahwa tentara Jepang sudah pulang ke negara asalnya. Hirosima dan Nagasaki hancur lebur dibombardir pasukan Sekutu pimpinan Amerika. Berita ini disambut gembira oleh para penghuni asrama. Mereka sorak-sorai dan segera sibuk mengatur rencana pulang ke kampung halaman masing-masing. Tapi, entah, aku tak begitu bergairah mendengar kabar itu. Aku tiba-tiba teringat Hikaro. Apalagi ketika penjaga asrama memberiku amplop berisi sejumlah uang dan secarik surat tulisan tangan Hikaro:

Haruye… akoe sangat mentjintaimoe. Akoe ingin mengadjak kamoe ke Djepoen. Tapi waktoekoe amatlah singkat. Djika kamoe mentjintaikoe goenakan oeang ini oentoek ongkos ke Djepoen. Akoe kan selaloe menoenggoemoe. Satoe pesankoe, peliharalah anak jang sedang kamoe kandoeng. Itoe adalah anakkoe. Tentang Nikimura, dia soedah akoe boenoeh beberapa hari laloe. Salam sajang. Hikaro.

Aku gemetar membaca tulisan tangan Hikaro. Uang di tanganku jatuh berhamburan di lantai. Wajah Hikaro terus menari-nari di pelupuk mataku. Aku semakin yakin ia benar-benar mencintaiku. Ia telah banyak berkorban untuk diriku. Ah, mungkin aku juga mencintainya, hanya aku tak terlalu yakin apakah aku siap berkorban untuk dirinya. Sampai kini. Ya, sampai kini, setelah tahun-tahun itu luruh menjelma keriput, uban, dan tubuh gemetar. Hikaro hanya menjadi bayang-bayang yang hanya bisa kutemukan pada bola mata anak laki-lakiku semata wayang: Soegeng Kahiro.

Depok, 2005

***

Catatan: cerita ini diilhami dari beberapa kisah mantan jugun ianfu dalam buku Derita Paksa Perempuan, penerbit (Sinar Harapan, 1997).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar