Cintaku Jauh di Komodo
Cerpen Seno Gumira Aji Darma
HANYA laut. Hanya
kekosongan. Dunia hanyalah laut dan langit melingkar, membentuk garis melingkar
yang tiada pernah berubah jaraknya, meski perahuku melaju menembus angin yang
bergaram. Bibirku terasa asin dan rambutku menyerap garam, tapi kutahu cintaku
belum berkarat bila tiba di pulau itu. Bagaimana cinta akan berkarat hanya
karena sebuah jarak, dari labuan Bajo ke Komodo, jika cinta ini belum juga
berjarak setelah mengarungi berabad-abad jarak, dari suatu masa ketika cinta
pertama kali ada? Lagi pula bagaimana cinta akan berkarat karena angin yang
bergaram jika cinta memang bukan besi? Aku dan kekasihku diciptakan dari
sepasang bayang-bayang di tembok yang tubuhnya sudah mati, dan semenjak saat
itu kami menjadi semacam takdir ketika tiada sesuatu pun di dunia ini yang
tidak bisa memutuskan hubungan cinta kami. Barangkali itulah yang disebut
dengan cinta abadi.
Aku
mengatakan semacam takdir, karena kami memang tidak terpisahkan, tapi aku hanya
berani mengatakan hanya semacam takdir, dan bukan takdir itu sendiri, karena
sesungguhnyalah aku tidak akan bisa tahu apakah benar cinta kami yang
barangkali abadi itu adalah takdir. Kami seperti tiba-tiba saja ada dan saling
mencintai sepenuh hati, tapi sunguh mati memang hanya seperti dan sekali lagi
hanya seperti, karena sesungguhnyalah cinta kami yang barangkali abadi itu
adalah sesuatu yang diperjuangkan. Cinta yang abadi kukira bukanlah sesuatu
yang ditakdirkan, cinta yang abadi adalah sesuatu yang diperjuangkan
terus-menerus sehingga cinta itu tetap ada, tetap bertahan, tetap membara,
tetap penuh pesona, tetap menggelisahkan, tetap misterius, dan tetap
terus-menerus menimbulkan tanda tanya; cintakah kau padaku, cintakah kau
padaku?[1]
Setiap
kali kami mati dan dilahirkan kembali, kami selalu bisa saling mengenali dan
mengusahakan segalanya untuk menyatu kembali. Kami memang diciptakan dari
sepasang bayang-bayang, dan bayang-bayang bisa berkelebat menembus segala
tabir, namun kami tidak pernah lahir kembali sebagai sepasang bayang-bayang
yang bisa berkelebat seenak udelnya. Kami sering dilahirkan kembali sebagai
manusia, dan sebagai manusia kami tidak bisa berkelbat seenak udel kami, begitu
pula bayang-bayang kami yang selalu mengikuti, menempel seperti ketan, lengket
bagai benalu, barangkali menunggu kami mati dan menjadi pasangan baru. Apabila
kami berbeda kulit, dan kemudian berbeda kelas sosial, lantas berbeda agama
pula—betapa berat usaha kami menyatukan diri. Walaupun kami terbukti saling
mencintai, terlalu banyak manusia merasa berhak untuk tidak setuju dan melarang
hubungan kami. Apalagi jika kami lahir kembali masing-masing sebagai pasangan
resmi orang lain. Nah, tiada seorang pun yang akan mengizinkan dirinya untuk
memahami, bahkan kami pun bisa bingung sendiri.
Demikianlah cinta kami selalu di uji,
benarkah begitu kuat usaha kami untuk menyatu kembali, ataukah cinta kami ini
hanya begitu-begitu saja yang terlalu mudah menyerah karena berbagai macam
halangan yang sebenarnya bisa saja diatasi. Memang begitu banyak godaan kepada
kesetiaan cinta kami; bisa berwujud harta kekayaan, bisa berupa kursi
kekuasaan, tapi yang paling berbahaya adalah pesona cinta itu sendiri. Hmm.
Cinta diuji oleh cinta. Seringkali ini sangat membingungkan—tetapi selalu bisa
kami atasi. Cinta yang sejati, kukira, hanyalah menjadi sejati jika tahan uji
terhadap cinta yang sama hebohnya, yakni cinta yang dasyat itu, dengan segenap
petir dan halilintarnya yang tanpa kecuali menggetarkan dan medebarkan hati.
Kesetiaan kami masing-masing telah membuat kami selalu bertemu kembali,
begitulah, meski terkadang penuh luka-luka cinta di sana-sini karena
ketergodaan yang terlalu menarik untuk tidak dilayani.
Apabila kami bertemu dari kelahhiran satu
ke kelahiran lain, kami akan saling mengenali, meski perbedaan duniawi yang
membungkus kami bisa mengakibatkan masalah berarti. Itulah misalnya yang
terjadi misalnya ketika aku lahir sebagai pendeta dan kekasihku lahir sebagai
putri raja. Lain kali aku lahir kembali sebagai perempuan dan kekasihku lahir
kembali tetap sebagai perempuan. Suatu kali bahkan ketika lahir kembali sebagai
bayi, kekasihku sudah lahir berpuluh tahun sebelumnya dan hampir mati. Tetapi
tidakkah cinta itu tiada memandang wujud, dan tiada pula memandang usia? Jika
cinta memang mempersatukan jiwa, maka kesenjangan tubuh macam apakah yang bisa
menghalanginya? Justru itulah masalahnya sekarang: apakah aku, sebagai manusia
biasa, masih bisa mencintai kekasihku, jika kekasihku itu telah menjadi komodo?[2]
Hanya laut. Hanya kekosongan. Laut dan
langit bagai bertaut, tapi sebetulnya mereka tidak bersentuhan sama sekali.
apakah aku bisa bertemu kekasihku kali ini? Tanda-tanda alam memberi isyarat
kepadku, kekasihku telah dilahirkan kembali dalam wujud seekor komodo,yang
sekarang berada di Pulau Komodo. Sebagai seekor komodo, kekasihku menimbulkan
maslah besar, karena telah memakan seorang anak gadis yang sedang mandi di
sungai. Perburuan liar telah mengurangi jumlah kijang yang biasa dimakan
komodo, sehingga kekasihku dengan kelaparan yang amat sangat telah menerkam dan
menelan seorang anak gadis berusia 12 tahun. Karena undang-undang melindungi
komodo, maka kekasihku tidak dibunuh, melainkan dibuang ke suatu wilayah di
Pulau Flores yang juga dihuni komodo. Namun, di tempat yang baru itu, kekasihku
dianggap sebagai komodo asing yang dimusuhi oleh komodo-komodo lain. Akibatnya,
kekasihku berenang dan menyeberangi laut
untuk kembali ke Pulau Komodo—dan kini aku datang ke pulau itu untuk
mencarinya.[3]
Dalam sejarah percintaan kami dari abad ke
abad, belum pernah kami lahir kembali dengan berbeda spesies seperti ini.
Karena kami selalu berperilaku baik, kami selalu lahir kembali sebagai
manusia—kesalahan apakah yang telah dilakukan kekasihku, dan aku tidak
mengetahuinya, sehingga lahir kembali sebagai komodo? Kalaulah aku masih
mempunyai kepekaan untuk mengenalinya, bagaimanakah caranya untuk
menmgenaliku—dan apa yang akan kami lakukan? Aku tidak mungkin mengawini dan
membawanya sebagai seekor komodo ke dalam apartemenku di Jakarta. Pasti
Supermie tidak akan pula mengenyangkannya. Atas nama cinta, apakah yang masih
bisa kulakukan untukmu, kekasihku?
***
KETIKA akhirnya kami berjumpa di sebuah
kubangan pada sungai kering berbatu-batu, hatiku terasa kosong. Setelah
menjelajahi pulau itu selama dua hari dan bertemu dengan sejumlah komodo,
akhirnya aku bertemu dengan seekor komodo yang kuyakini sebagai kekasihku.
Rupanya kekasihku menjadi seekor komodo jantan.
Karena aku turun ke kampung komodo,[4] dan bukan di Loh Liang,
tempat para petugas Taman Nasional biasa memandu wisatawan, aku menjelajahi
pualau itu siang-malam tanapa pengawal. Bersenjatakan tongkat bercabang, aku
berhasil menyelamatkan diri dari serangan sejumlah komodo, sampai kutemukan komodo
jantan yang pernah memakan anak gadis itu.[5]
Kami bertemu pada suatu siang yang panas
dan aku sedang mendaki ketika kulihat dia merayap ke arahku di bawah kerimbunan
semak-semak. Apakah yang masih kukenal dari kekasihku yang cantik jelita pada
komodo jantan ini? Tadinya masih kuharapkan pandangan mata yang penuh dengan
cinta, tapi hanya kulihat sebuah pandangan mata yang kosong. Sudah jelas ia
tampak kelaparan, dan kukira ia tidak mengenaliku lagi—apakah masih sahih jika
aku berusaha tetap mempertahankan cinta? Dalam keadaan seperti ini, aku menjadi
ragu, apakah cinta yang abadi itu sebenarnya memang ada, ataukah hanya
seolah-olah ada dan dipercaya begitu rupa sehingga mengelabuhi para peminatnya?
Mungkin cinta memang mengenal wujud—meskipun komodo jantan itu memang penjelmaan
kekasihku, dan aku sangat mencintainya, aku bertanya-tanya apakah aku bisa
mencintainya seperti mencintai kekasihku…
Aku terpeleset dari tebing, dan meluncur
masuk ke kubangan, tepat dihadapan mulutnya yang menganga. Semuanya sudah
terlambat, kaki kiriku sudah masuk ke dalam mulutnya, langsung patah beberapa
bagian. Aku tidak sempat memanfaatkan tongkat bercabang itu—apakah aku akan
lebih bahagia jika menyerahkan jiwa sebagai pengorbanan cinta? Kuras seluruh
tubuhku tersedot masuk ke dalam tubuh komodo itu sekarang. Di dalam tubuh itu
hanya kurasakan kegelapan—dan perasaan menyatu. Kalau aku tidak keliru.
Labuan Bajo, Juli 2003
Kompas, Minggu_17/08/2003
[1]* Judul ini mengacu kepada sajak Chairil
Anwar, Cintaku Jauh di Pulau (1946).
[1] Ingatan terbalik atas sajak afterthought: cintakah kau kepadanya/cintakah kau
kepadanya dalam Toety Heraty, Nostalgi=Transendensi (1995)., hal75.
[2] Reptil bernama resmi Varanus Komodoensis yang panjangnya bisa mencapai tiga meter dan
berat 150 kilogram, dan selalu disebut hanya terdapat di Pulau Komodo, dengan
jumlah sekitar 1650 ekor (1994). Ternyata terdapat pula di Pulau Rinca,
sebanyak 1000 ekor, dan suatu wilayah di Flores yang jumlahnya belum sepat
dihitung.
Sisa makhluk perbakala itu baru ditemukan secara
resmi pada tahun 1911 oleh tentara Hindia Belandan dan diberi nama pada tahun
1912 oleh PA Ouwens, kurator musiam zoologi Bogor.
(Baca Linda Hoffman; Introduction dan Enter the
Dragon: Visiting the Island of Dinosaurs dalam Kal Muller, East of Bali: from Lombok to Timor (1997),
hal 111-114.
[3] Bagian kisah ini mengacu kepada suatu kejadian,
yang dialami seorang bocah lelaki pada tahun 1987, namun terjadinya di Pulau
Rinca, yang bersebelahan dengan Pulau Komodo, dalam Muller, Ibid., hal: 111-2
[4] Kampung Komodo, terdiri atas 400 KK (2003),
satu-satunya kampung di pulau itu, mempunyai kebudayaan dan bahasa sendiri.
Mereka menyebut komodo sebagai ora.
Lebih jauh baca JAJ Verheijen, Pulau
Komodo: Tanah, Rakyat dan Bahasanya (1987), terjemahan A Ikram
[5] Korban terakhir adalah Baron Rudolf Van Biberegg,
wisatawan asal Swiss berusia 84 tahun, pada tahun 1972, yang lenyap di Poreng,
Pulau Komodo—yang tertinggal hanyalag tripod-nya,
kaki tiga untuk kamera. Muller, op cit.,
hal: 112.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar