Senin, 30 Januari 2012

Legislatif

Legislatif

Pengaruh teori John Locke tentang pemisahan kekuasaan dalam negara itu memang tidak sebesar pengaruh teori Montesquieu (1689-1755), seorang pakar hukum berkebangsaan Prancis yang pada tahun 1748 menerbitkan buku yang sangat terkenal dengan judul L’ Esprit des Lois (Jiwa Undang-Undang).
Montesquieu seperti halnya dengan John Locke mengemukakan pembahagian kekuasaan (fungsi) di dalam negara dibagi ke dalam kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang) dan kekuasaan yudikatif (mengadili atas pelanggaran-pelanggaran dari undang-undang).
Teori pemisahan kekuasaan ke dalam tiga poros ini, oleh Emmanuel Kant (pemikir yang datang kemudian) disebut Trias Politika. Jadi meskipun teori Trias Politika ini selalu dikaitkan dengan nama Montesquieu tapi sebenarnya yang memberi nama Trias Politika bagi teori baru itu bukanlah Montesquieu sendiri melainkan adalah Emmanuel Kant.



Perbedaan pembagian kekuasaan menurut John Locke dan Montesquieu ialah, bahwa menurut John Locke kekuasaan yudikatif ini menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif sedangkan kekuasaan federatif menjadi kekuasaan yang berdiri sendiri; sebaliknya menurut Montesquieu kekuasaan federatif itulah yang menjadi bagian atau termasuk dalam lapangan kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif (peradilan) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
Dalam praktik kenegaraan ternyata pembagian kekuasaan yang dikemukakan oleh Montesquieu lah yang lebih diterima yaitu dengan dijadikannya lapangan federatif (keamanan dan hubungan luar negeri) sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan yang berdiri sendiri.
Perkembangan di Indonesia
Dalam perkembangannya kemudian di Indonesia, lembaga legislatif yaitu DPR termasuk juga di dalamnya DPRD provinsi/kabupaten/kota, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, mempunyai 3 tugas atau fungsi pokok yaitu: fungsi legislasi, budgeting dan controlling. Fungsi legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan DPR maupun DPRD selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang/Perda.
Dalam fungsinya sebagai legislator, yaitu membuat UU oleh DPR RI dan membuat Perda oleh DPRD provinsi/kabupaten/kota, maka yang menarik untuk didiskusikan adalah, apakah tugas/fungsi atau istilah membuat UU atau Perda itu hanya sebatas dalam pengertian mengesahkan yang bahan bakunya dari pihak lain (dalam hal ini eksekutif); ataukah istilah membuat itu betul-betul dalam pengertian draf/rancangan suatu UU/Perda itu berasal dari dan dikerjakan sendiri oleh pihak legislatif, yaitu mulai dari pembuatan naskah akademisnya, perumusan pasal demi pasal termasuk perumusan penjelasannya, kesemuanya merupakan hasil karya dari legislatif. Setelah disahkan, nantinya akan dilaksanakan oleh lembaga eksekutif.
Pembuat Bukan Pengesah UU
Terkait dengan masalah di atas, menarik untuk dikomentari dari sebuah talk show yang diselenggarakan oleh salah satu televisi swasta, tepatnya acara itu dilaksanakan pada tanggal 5 Mei 2011 pukul 21.30 WIB.
Dalam acara talk show itu ditampilkan salah seorang anggota DPR RI. Ketika pembawa acara meminta tanggapan terhadap keluhan masyarakat yang menyatakan bahwa anggota DPR lamban dan tidak produktif, dengan tegas anggota DPR itu menjawab, bahwa yang lamban bekerja itu bukan legislatif tetapi adalah eksekutif.
Buktinya, saya sekarang menganggur karena tidak ada RUU yang diajukan oleh eksekutif kepada legislatif untuk dibahas.
Dari perbincangan singkat ini, terlihat bahwa lembaga legislatif merupakan lembaga pembahas UU bukan pembuat UU, karena ternyata lebih banyak menunggu RUU yang diajukan oleh pemerintah (eksekutif) dibandingkan dengan membuat RUU berdasarkan inisiatif sendiri kemudian membahasnya.
Dalam kesempatan lain, pimpinan DPR RI mengaku sangat gamang dengan tingkah laku eksekutif dalam hal ini salah seorang menteri, karena lambannya mengajukan RUU.
Lebih lanjut dinyatakan pula, bahwa keterlambatan penyusunan RUU di DPR RI juga tidak lepas dari lambannya kerja eksekutif, pemerintah. Dari pernyataan ini, lagi-lagi dengan mudah dapat ditafsirkan, bahwa sebenarnya legislatif itu merupakan lembaga pengesah dan pembahas bukan pembuat.
Memang dalam Undang-Undang Nomor 10/2004 disebutkan bahwa inisiatif RUU bisa berasal dari eksekutif dan bisa juga berasal dari legislatif. Sepengetahuan penulis, bahwa RUU yang dibahas oleh legislatif lebih banyak berasal dari inisiatif eksekutif.
Sementara itu, tugas pokok eksekutif dalam tataran ideal sebenarnya hanya melaksanakan UU yang diproduksi oleh legislatif. Artinya, legislatif yang membuat UU dan eksekutif yang melaksanakannya.
Nah sekarang, menurut hemat penulis sebuah kelucuan sedang dan sudah lama terjadi di Indonesia. Bagaimanapun juga tak mungkin ada obyektifitas manakala pemain sekaligus manjadi wasit atau wasit sekaligus menjadi pemain.
Logika sederhananya adalah, bahwa kalau RUU/Ranperda itu berasal dan merupakan inisiatif dari pihak eksekutif, maka sedikit banyak akan mewarnai kepentingan dari pihak eksekutif itu sendiri, sementara eksekutif adalah sebagai pihak pelaksana bukan pembuat.
Sehingga kalau pihak pelaksana sudah masuk dan ikut campur ke ranah membuat dan yang nantinya dia sendiri akan melaksanakan, bukankah ini menjadi sebuah lelucon yang tak lucu, membuat sekaligus juga melaksanakan.
Di samping logika di atas, kalau kita berbicara masalah profesionalitas, bahwa yang dikatakan profesional secara singkat dan sederhana adalah, bekerja sesuai tupoksi (tugas pokok dan fungsi).
Dalam kaitannya dengan hal di atas, maka secara doktriner dapat dijelaskan bahwa kekuasaan legislatif merupakan lembaga yang bertugas membuat peraturan perundang-undangan sedangkan kekuasaan eksekutif merupakan lembaga yang bertugas melaksanakan peraturan perundang-undangan hasil dari produk lembaga legislatif.
Maka untuk itu, menurut hemat penulis tidak boleh dicampur adukan antara kekuasaan pembuat dan kekuasaan pelaksana. Artinya, lembaga pelaksana (eksekutif) tidak boleh ikut campur tangan dalam proses membuat.
Demikian pula sebaliknya, lembaga legislatif tidak boleh ikut campur tangan dalam proses melaksanakan. Inilah yang dinamakan bekerja secara profesional, yaitu bekerja menurut bidang masing-masing. Wasit bekerja sesuai dengan bidang perwasitan, demikian pula sebaliknya dengan pemain.
Secara yuridis normatif, terhadap RUU/Ranperda yang berasal dari eksekutif memang ada proses pembahasan di tingkat legislatif. Namun perlu diingat, kalau suatu RUU/Ranperda yang bahan bakunya berasal dari eksekutif, maka ini artinya adalah bahwa ide dasar dan filosofinya maupun unsur kepentingan telah diwarnai oleh eksekutif.
Inilah yang penulis maksud seperti diuraikan di atas, bagaimana mungkin bisa obyektif manakala pemain sekaligus berposisi sebagai wasit, baik itu dalam ranah membuat maupun dalam tataran melaksanakan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar