Sabtu, 19 November 2011

Detik-Detik

Detik-Detik
Cerpen: Fathor Rasyid*

Detik-detik yang mendebarkan, detik-detik yang tak pernah kubayangkan, adalah detik yang tak pernah diketahui oleh siapa pun bahwa didetik ini adalah detik akhir dari detak harapan seseorang yang berada disudut kehidupanmu.

Pagi masih buta. Seusai fajar meniup sangkakala di subuh yang dingin, di ufuk timur garit merah melintang. Perlahan-lahan kabut melepas peluknya pada rerimbunan dedaunan yang basah. Embun pun juga mulai menelusup di bawah dedaunan yang belum terjaga.
Tidak seperti biasanya, pagi ini benar-benar terasa lengang. Lantunan suara yang selalu menelusup di balik dinding telingaku, tak lagi terdengar membangunkan dan memberiku semangat menjalani hari-hari.
Rela atau pun tidak rela, aku harus rela. Sakit atau pun tidak, aku harus tersenyum santun mengiringi puncak kesendirianmu. “Akulah abdi yang setia” begitulah janjiku dulu. Janji yang hingga kini tak mungkin kubuang.
Sebab itu, tak boleh ada yang tahu. Kecuali. Ya, kecuali... Bahwa engkau telah kubawa, kutanam hingga tumbuh dan berbunga di kedalaman ketersudutanku.
Hitam dan putih hanyalah sebuah warna. Warna hanyalah kekaburan. Dan kekaburan adalah kabut yang akan menghilangkan aku, engkau dan mereka, tentang apa yang sebenarnya “baik dan buruk” hingga...
“Mat... Bagaimana!? semuanya sudah beres belum!?” Teriak Gus Nasrul dari dhalem.
”Sudah Gus. Semuanya sudah saya persiapkan.” Jawabku lebih keras, tapi dengan nada rendah.
Tak lama kemudian beliau menghampiriku. Dan dari wajah beliau terlihat puas dengan segala yang telah kukerjakan. Mulai cuci mubil hangga memanasin mesinnya. Wah greng! Tinggal cabut. A plus untukku dengan sebungkus rokok. “Bagus, bagus... Pokoknya jam sudah tujuh-an kita harus berangkat. Ni rokok untuk mu. Kutinggal dulu ya.”
Tak lama kemudian dua mobil dari rombongan Gus Najib dan Gus Irfan yang merupakan saudara kandung Gus Nasrul datang. Terlihat diantara mereka, para ning, dari putra-putri saudara Gus Nasrul membawa bingkisan kado.


Ini adalah benar-benar perayaan, bisikku dalam hati.
“Mat. Mana Nasrul?” tanya Gus Najib, sembari menghampiriku.
“Gus Nasrul masih di dhalem. Tapi beliau sudah siap. Katanya, beliau nunggu jenengan.”
“Oh ya…!?”
Segera Gus Najib beserta yang lainnya masuk ke dhalem. Entah apa yang dikerjakan. Walau dari kemaren beliau-belau sudah matang berumbuk, tapi mungkin ini beliau-beliau butuh berbagai pemantapan sebagai besan.
Selang beberapa lima belas menetan, beliau-beliau keluar dari dhalem, termasuk Gus Nasrul beserta istri beliau.
* * *
Walau berusaha ketepis sejauh mungkin, ternyata hatiku masih bertanya-tanya, seperti apakah Ning Aisyah jika… ah sudahlah. Sebagai sopir dan santri yang patuh terhadap guru, maka tugasku sekarang hanyalah mengantarkan beliau-beliau, hingga ketempat tujuan. Lebih dari, oh tidak.
“Cepat sidikit Aisyah… Jam setengah delapan kita sudah harus sampai di sana lho!” pinta Bu Nyai pada Aisyah yang entah di mana aku tak tahu. Mungkin saja masih berdandan, atau…
Tapi tak lama kemudia, dari kaca spion kulihat Ning Aisyah muncul dari balik pintu dengan di iringi empat santri putri.
Sungguh sempurna… Walau dandannya sederhana dengan selendang yang terguntai, melilit hingga kebagian paha yang memang pantas digunakan gadis semampai sepertinya, membuat keanggunnya semakin berwibawa.
Sebagai seorang santri yang selalu ingin mempertahankan sebuah kepatuhan, menjunjung nilai-nilai yang hingga kini belum kupahami, ternyata aku masih tak sanggup membohongi kenalurianku. Kuakui, aku tak mampu membuang apa yang ada dalam perasaan ini.
“Ayo Mat, berangkat. Jangan banyak melamun.” Sergah Gus Nasul sambil tersenyum penuh bahagia.
Tanpa basa-basi, aku langsung menstater mobil dan melajukannya, keluar dari pekarang pondok yang sebegitu luas.
Dalam perjalanan, sebagai santri tentunya aku dan empat santri putri pengiring Ning Aisyah tidak bicara banyak, kecuali Gus Nasrul dan Bu Nyai yang berusaha memancing obrolan dari kami.
Tapi anehnya, Neng Aisyah juga demikian. Sekali pun ada dipancingan-pancingan dari Gus dan Nyai, Ning Aisah hanya terdiam. Bahkan dari yang kuamati sejak awal keberangkatan, raut Ning Aisyah terlihat murung. Ternyata hal itu sudah terbaca oleh Gus Nasrul dan Bu Nyai.
“Jangan terlalu tegang. Dulu aku juga demikian. Tanyakan saja sama ayahmu. Aku susah, bagaimana cara menghadapi seorang suami. Wah.. pokoknya waktu itu aku sangat ketakutan. Tapi setelah itu, eh… baru kamu tahu rasa…” seloroh Bu Nyai sembari tertawa kecil.
Pembicaraan antara Gus Nasrul dengan Bu Nyai semakin lama semakin seru. Baik itu mengenai masa remaja Bu Nyai yang jelas-jelas menolak kehadiriran Gus Nasrul, hingga menjadi Ning Aisyah kini.
“Nah, jadi kamu nggak usah khawatir. Aku yakin, Misbah akan menjadi suami yang baik untukmu.”
Ya Gus Misbah. Siapa yang tak kenal beliau. Pewaris pondok yang terbesar di wilayah itu. aku juga yakin belia akan menjadi suami yang baik untuk Ning Aisyah. Tentang pertemuan senja itu, lupakan saja Neng, ungkapku dalam hati. Itu petaka bagi Neng, bagi keluarga Neng dan itu akan menjadi kutukan disepanjang hidupku.
Tidak hanya kepatuhan sebagai seorang murid, tapi aku telah banyak hutang budi pada keluarga Neng. Andai Gus Nasrul tidak menerima keberadaanku, entah bagaimana hidupku. Mungkin hingga kini aku masih tetap mengelandang. Lewat Gus Nasrul, aku talah benyak kenal dengan sesuatu yang sebelumnya tak pernah kuketahui. Jadi lupakanlah pertemuan di “senja” itu. Biarkanlah pertemuan di “senja” itu tenggelam bersama detik-detik harap, hingga menjadi malam. Dan saat itu engkau adalah bintang yang akan selalu kupuja sebagai cahaya. Ya cahaya…

*Fathor Rasyid, penggiat Lesehan Sastra dan Budaya Kutub (LSBK) Yogyakarta. Tulisan-tulisannya berupa opini, resensi buku, cerpen, dan esai budaya banyak di muat di berbagai media massa lokal dan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar