Kamis, 17 November 2011

Falsafat Rasa Hidup

Falsafat Rasa Hidup

Filsafat ialah pengetahuan tentang segala apa yang ada. Filsafat
memberi jawaban atas pertanyaan "Apakah hakikatnya segala yang
ada di atas bumi dan di kolong langit?"
Segala apa yang ada ini dapat dibagi dua bagian, yaitu benda hidup
dan benda tidak hidup. Benda tidak hidup berupa cangkir, piring, meja,
kursi, batu dan sebagainya. Benda hidup berupa tumbuh-tumbuhan,
hewan, manusia. Jadi segala apa yang ada hanya terdiri dari benda
hidup dan benda tidak hidup, selain itu tidak ada.
Benda tidak hidup tidak bergerak, kecuali bila digerakkan oleh benda
lain. Sedangkan benda hidup bergerak walaupun tidak digerakkan oleh
benda lain. Dengan demikian maka hidup itu bersifat gerak pribadi
(dapat bergerak sendiri).
Gerak dan diam ialah sifat laku (bhs. Jawa: lelampahan). Diam ialah
tetap pada tempatnya, dan bergerak ialah berpindah tempat,
walaupun yang bergerak hanya bagian benda itu. Jadi hidup itu
bersifat gerak. Yang bergerak ialah satu persatu benda jadi. Wujud
satuan benda jadi ialah hewan, manusia, meja, kursi dan sebagainya.
Wujud manusia sebagai benda disebut badan (raga). Raga manusia
senantiasa dapat bergerak sendiri. Kalau raga itu tidak dapat lagi
bergerak sendiri, maka raga itu disebut mati. Jadi mati ialah tidak lagi
dapat bergerak sendir

Kalau kita mengerti bahwa hidup ialah laku, maka orang bebas dari
anggapan bahwa hidup ialah benda. Anggapan bahwa hidup itu benda,
menimbulkan persoalan yang berupa pertanyaan sebagai berikut, "Bila
orang telah meninggal, maka akan ke manakah hidupnya?". Teranglah
pertanyaan ini menanyakan tempat benda, yaitu si hidup yang
dianggapnya benda.
Yang memerlukan tempat ialah benda, tetapi gerak tidak memerlukan
tempat. Misalnya duduk ialah suatu gerak, dan oleh karena itu tidak
memerlukan tempat. Yang membutuhkan tempat ialah raga yang
duduk; seperti halnya si Dadap duduk di kursi. Jadi yang memerlukan
tempat di kursi ialah raga si Dadap.
Laku dapat dibagi-bagi menurut artinya. Bagian-bagian laku
merupakan rentetan kejadian yang saling kait-mengait dalam
hubungan sebab dan akibat, yang berlangsung di dalam waktu
(jaman). Maka laku memakan waktu.
Benda hidup dapat dibagi menjadi tiga golongan, yakni tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Benda hidup yang dinamakan
manusia, ia merasa hidup. Jadi manusia mempunyai rasa hidup. Rasa
hidup inilah yang mendorong manusia bergerak.
Di sini perlu diselingi keterangan, bahwa tindakan manusia itu
terdorong oleh perasaannya. Orang mencari minum karena terdorong
oleh rasa haus, dan orang ingin tidur karena terdorong oleh rasa
kantuk.
Bahkan bukan saja gerak manusia, tetapi gerak semua benda hidup,
tumbuh-tumbuhan atau hewan, juga didorong oleh rasa hidup. Karena
gerak benda hidup terdorong oleh rasa hidup, maka maksud gerak
semua benda hidup ialah supaya hidupnya berlangsung terus. Maka
rasa hidup menolak kematian.
Sebagai contoh, misalnya pohon mangga itu bergerak, dan akar-akarnya masuk ke dalam tanah mencari makanan, tentu dengan
maksud agar hidupnya berlangsung walaupun tidak disadari. Setelah
besar (dewasa) pohon mangga itu tidak berhenti di situ saja, tetapi
tentu akan berbunga, dan bunga ini menjadi putik yang kemudian
menjadi buah. Buah mangga itu setelah masak akan jatuh di tanah,
yang kemudian tumbuh menjadi pohon mangga lain lagi. Maka bila
pohon yang tua mati, yang muda akan menggantikan hidupnya.
Keadaan seperti di atas yang melangsungkan jenis pohon mangga,
karena pohon muda itu pun bila sudah dewasa akan berbuah, dan
demikian seterusnya. Jadi selain melangsungkan hidupnya, gerakan
pohon mangga itu pun melangsungkan jenisnya.
Di sini jelaslah bahwa gerak pohon mempunyai dua macam maksud,
yakni agar dapat melangsungkan hidupnya dan melangsungkan
jenisnya. Demikian juga maksud gerak hewan dan manusia. Maka
maksud gerak bagi pohon, hewan dan manusia ialah sama, yaitu
supaya dapat melangsungkan hidup dan jenisnya.
Gerak manusia yang ditujukan untuk melangsungkan hidupnya seperti
makan, berpakaian, bertempat tinggal (bhs. Jawa: pangan, sandang,
papan) disebut memenuhi kebutuhan hidup (bhs. Jawa: pangupa
jiwa). Bila tidak makan, manusia akan menjadi sakit, dan kemudian
mati. Maka makan ialah kebutuhan hidup. Kegunaan pakaian ialah
untuk melindungi badan dari hawa panas atau dingin. Karena bila
terserang panas atau dingin yang hebat, badan menjadi sakit, dan
kemudian mati. Maka pakaian merupakan kebutuhan hidup. Kegunaan
tempat tinggal ialah untuk beristirahat atau tidur. Bila tidak tidur orang
menjadi sakit, dan kemudian mati. Maka tempat tinggal atau
perumahan merupakan kebutuhan hidup.
Gerak manusia yang ditujukan untuk melangsungkan jenisnya berupa
perkawinan. Bila tidak kawin, orang tidak dapat beranak-cucu, hingga
habislah jenis manusia. Maka perkawinan merupakan kebutuhan
hidup.
Demikianlah, "pangupa jiwa" dan perkawinan menjadi kebutuhan
hidup. Bila kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi maka orang akan mati
atau tidak akan berketurunan. Oleh karena itu, bila kebutuhan
hidupnya dapat terpenuhi, orang merasa senang dan bila tidak, orang
merasa susah. Maka rasa hidup ini menimbulkan takut mati dan takut
tidak berketurunan, dan mendorongnya untuk menghindari apa yang
dapat menyebabkan ia mati atau tidak mempunyai keturunan.
Penyakit, kelaparan, ketelanjangan, tidak bertempat tinggal dan
sebagainya, merupakan sebab kematian. Yang menyebabkan tidak
berketurunan, ialah tidak dapat jodoh, perceraian, mandul, dan
sebagainya. Jadi takut mati dan takut tidak mempunyai keturunan,
menurut rasa hidup ialah wajar.
Bila jiwa mengalami kelainan, sering orang melakukan pantang
makan, pantang tidur, pantang istri/suami dan sebagainya. Kelainan
jiwa ini disebabkan karena keinginan memperoleh keunggulan dalam
suatu hal (bhs. Jawa: linangkung) atau karunia dari Yang Mahakuasa.
Menolak kebutuhan hidup demikian itu tidak wajar.
Menolak kebutuhan hidup menimbulkan perang batin. Padahal perang
batin mengakibatkan penderitaan. Maka menolak kebutuhan hidup
berarti mengalami penderitaan jiwa (bhs. Jawa: cilaka).
Bagaimanakah perang batin itu timbul? Seseorang yang pantang
makan tentu akan merasa lapar. Di situ rasa ingin makan
bertentangan dengan rasa pantang makan, maka terjadilah perang
batin. Dalam perang batin kadang-kadang diri sendiri menjadi "yang
ingin makan", dan kadang-kadang menjadi "yang pantang makan".
Ketika menjadi "yang ingin makan", rasanya "aku ingin makan". Ketika
menjadi "yang pantang makan", rasanya "aku pantang makan".
Akulah yang menguasai nafsuku, dan yang ingin makan ialah godaan.
Seolah-olah dirinya sendiri pecah menjadi dua. Demikian kebingungan
seorang bila timbul perang batin, sehingga sangat sukar untuk
mengatakan yang manakah dirinya sendiri.
Apabila orang menyadari kelainan dalam jiwanya, yang berupa
keinginannya memperoleh keunggulan atau karunia, perang batin itu
sirna. Lenyapnya perang batin, membangunkan rasa tenteramKalau kita mengerti bahwa hidup ialah laku, maka orang bebas dari
anggapan bahwa hidup ialah benda. Anggapan bahwa hidup itu benda,
menimbulkan persoalan yang berupa pertanyaan sebagai berikut, "Bila
orang telah meninggal, maka akan ke manakah hidupnya?". Teranglah
pertanyaan ini menanyakan tempat benda, yaitu si hidup yang
dianggapnya benda.
Yang memerlukan tempat ialah benda, tetapi gerak tidak memerlukan
tempat. Misalnya duduk ialah suatu gerak, dan oleh karena itu tidak
memerlukan tempat. Yang membutuhkan tempat ialah raga yang
duduk; seperti halnya si Dadap duduk di kursi. Jadi yang memerlukan
tempat di kursi ialah raga si Dadap.
Laku dapat dibagi-bagi menurut artinya. Bagian-bagian laku
merupakan rentetan kejadian yang saling kait-mengait dalam
hubungan sebab dan akibat, yang berlangsung di dalam waktu
(jaman). Maka laku memakan waktu.
Benda hidup dapat dibagi menjadi tiga golongan, yakni tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Benda hidup yang dinamakan
manusia, ia merasa hidup. Jadi manusia mempunyai rasa hidup. Rasa
hidup inilah yang mendorong manusia bergerak.
Di sini perlu diselingi keterangan, bahwa tindakan manusia itu
terdorong oleh perasaannya. Orang mencari minum karena terdorong
oleh rasa haus, dan orang ingin tidur karena terdorong oleh rasa
kantuk.
Bahkan bukan saja gerak manusia, tetapi gerak semua benda hidup,
tumbuh-tumbuhan atau hewan, juga didorong oleh rasa hidup. Karena
gerak benda hidup terdorong oleh rasa hidup, maka maksud gerak
semua benda hidup ialah supaya hidupnya berlangsung terus. Maka
rasa hidup menolak kematian.
Sebagai contoh, misalnya pohon mangga itu bergerak, dan akar-akarnya masuk ke dalam tanah mencari makanan, tentu dengan
maksud agar hidupnya berlangsung walaupun tidak disadari. Setelah
besar (dewasa) pohon mangga itu tidak berhenti di situ saja, tetapi
tentu akan berbunga, dan bunga ini menjadi putik yang kemudian
menjadi buah. Buah mangga itu setelah masak akan jatuh di tanah,
yang kemudian tumbuh menjadi pohon mangga lain lagi. Maka bila
pohon yang tua mati, yang muda akan menggantikan hidupnya.
Keadaan seperti di atas yang melangsungkan jenis pohon mangga,
karena pohon muda itu pun bila sudah dewasa akan berbuah, dan
demikian seterusnya. Jadi selain melangsungkan hidupnya, gerakan
pohon mangga itu pun melangsungkan jenisnya.
Di sini jelaslah bahwa gerak pohon mempunyai dua macam maksud,
yakni agar dapat melangsungkan hidupnya dan melangsungkan
jenisnya. Demikian juga maksud gerak hewan dan manusia. Maka
maksud gerak bagi pohon, hewan dan manusia ialah sama, yaitu
supaya dapat melangsungkan hidup dan jenisnya.
Gerak manusia yang ditujukan untuk melangsungkan hidupnya seperti
makan, berpakaian, bertempat tinggal (bhs. Jawa: pangan, sandang,
papan) disebut memenuhi kebutuhan hidup (bhs. Jawa: pangupa
jiwa). Bila tidak makan, manusia akan menjadi sakit, dan kemudian
mati. Maka makan ialah kebutuhan hidup. Kegunaan pakaian ialah
untuk melindungi badan dari hawa panas atau dingin. Karena bila
terserang panas atau dingin yang hebat, badan menjadi sakit, dan
kemudian mati. Maka pakaian merupakan kebutuhan hidup. Kegunaan
tempat tinggal ialah untuk beristirahat atau tidur. Bila tidak tidur orang
menjadi sakit, dan kemudian mati. Maka tempat tinggal atau
perumahan merupakan kebutuhan hidup.
Gerak manusia yang ditujukan untuk melangsungkan jenisnya berupa
perkawinan. Bila tidak kawin, orang tidak dapat beranak-cucu, hingga
habislah jenis manusia. Maka perkawinan merupakan kebutuhan
hidup.
Demikianlah, "pangupa jiwa" dan perkawinan menjadi kebutuhan
hidup. Bila kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi maka orang akan mati
atau tidak akan berketurunan. Oleh karena itu, bila kebutuhan
hidupnya dapat terpenuhi, orang merasa senang dan bila tidak, orang
merasa susah. Maka rasa hidup ini menimbulkan takut mati dan takut
tidak berketurunan, dan mendorongnya untuk menghindari apa yang
dapat menyebabkan ia mati atau tidak mempunyai keturunan.
Penyakit, kelaparan, ketelanjangan, tidak bertempat tinggal dan
sebagainya, merupakan sebab kematian. Yang menyebabkan tidak
berketurunan, ialah tidak dapat jodoh, perceraian, mandul, dan
sebagainya. Jadi takut mati dan takut tidak mempunyai keturunan,
menurut rasa hidup ialah wajar.
Bila jiwa mengalami kelainan, sering orang melakukan pantang
makan, pantang tidur, pantang istri/suami dan sebagainya. Kelainan
jiwa ini disebabkan karena keinginan memperoleh keunggulan dalam
suatu hal (bhs. Jawa: linangkung) atau karunia dari Yang Mahakuasa.
Menolak kebutuhan hidup demikian itu tidak wajar.
Menolak kebutuhan hidup menimbulkan perang batin. Padahal perang
batin mengakibatkan penderitaan. Maka menolak kebutuhan hidup
berarti mengalami penderitaan jiwa (bhs. Jawa: cilaka).
Bagaimanakah perang batin itu timbul? Seseorang yang pantang
makan tentu akan merasa lapar. Di situ rasa ingin makan
bertentangan dengan rasa pantang makan, maka terjadilah perang
batin. Dalam perang batin kadang-kadang diri sendiri menjadi "yang
ingin makan", dan kadang-kadang menjadi "yang pantang makan".
Ketika menjadi "yang ingin makan", rasanya "aku ingin makan". Ketika
menjadi "yang pantang makan", rasanya "aku pantang makan".
Akulah yang menguasai nafsuku, dan yang ingin makan ialah godaan.
Seolah-olah dirinya sendiri pecah menjadi dua. Demikian kebingungan
seorang bila timbul perang batin, sehingga sangat sukar untuk
mengatakan yang manakah dirinya sendiri.
Apabila orang menyadari kelainan dalam jiwanya, yang berupa
keinginannya memperoleh keunggulan atau karunia, perang batin itu
sirna. Lenyapnya perang batin, membangunkan rasa tenteramKalau kita mengerti bahwa hidup ialah laku, maka orang bebas dari
anggapan bahwa hidup ialah benda. Anggapan bahwa hidup itu benda,
menimbulkan persoalan yang berupa pertanyaan sebagai berikut, "Bila
orang telah meninggal, maka akan ke manakah hidupnya?". Teranglah
pertanyaan ini menanyakan tempat benda, yaitu si hidup yang
dianggapnya benda.
Yang memerlukan tempat ialah benda, tetapi gerak tidak memerlukan
tempat. Misalnya duduk ialah suatu gerak, dan oleh karena itu tidak
memerlukan tempat. Yang membutuhkan tempat ialah raga yang
duduk; seperti halnya si Dadap duduk di kursi. Jadi yang memerlukan
tempat di kursi ialah raga si Dadap.
Laku dapat dibagi-bagi menurut artinya. Bagian-bagian laku
merupakan rentetan kejadian yang saling kait-mengait dalam
hubungan sebab dan akibat, yang berlangsung di dalam waktu
(jaman). Maka laku memakan waktu.
Benda hidup dapat dibagi menjadi tiga golongan, yakni tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Benda hidup yang dinamakan
manusia, ia merasa hidup. Jadi manusia mempunyai rasa hidup. Rasa
hidup inilah yang mendorong manusia bergerak.
Di sini perlu diselingi keterangan, bahwa tindakan manusia itu
terdorong oleh perasaannya. Orang mencari minum karena terdorong
oleh rasa haus, dan orang ingin tidur karena terdorong oleh rasa
kantuk.
Bahkan bukan saja gerak manusia, tetapi gerak semua benda hidup,
tumbuh-tumbuhan atau hewan, juga didorong oleh rasa hidup. Karena
gerak benda hidup terdorong oleh rasa hidup, maka maksud gerak
semua benda hidup ialah supaya hidupnya berlangsung terus. Maka
rasa hidup menolak kematian.
Sebagai contoh, misalnya pohon mangga itu bergerak, dan akar-akarnya masuk ke dalam tanah mencari makanan, tentu dengan
maksud agar hidupnya berlangsung walaupun tidak disadari. Setelah
besar (dewasa) pohon mangga itu tidak berhenti di situ saja, tetapi
tentu akan berbunga, dan bunga ini menjadi putik yang kemudian
menjadi buah. Buah mangga itu setelah masak akan jatuh di tanah,
yang kemudian tumbuh menjadi pohon mangga lain lagi. Maka bila
pohon yang tua mati, yang muda akan menggantikan hidupnya.
Keadaan seperti di atas yang melangsungkan jenis pohon mangga,
karena pohon muda itu pun bila sudah dewasa akan berbuah, dan
demikian seterusnya. Jadi selain melangsungkan hidupnya, gerakan
pohon mangga itu pun melangsungkan jenisnya.
Di sini jelaslah bahwa gerak pohon mempunyai dua macam maksud,
yakni agar dapat melangsungkan hidupnya dan melangsungkan
jenisnya. Demikian juga maksud gerak hewan dan manusia. Maka
maksud gerak bagi pohon, hewan dan manusia ialah sama, yaitu
supaya dapat melangsungkan hidup dan jenisnya.
Gerak manusia yang ditujukan untuk melangsungkan hidupnya seperti
makan, berpakaian, bertempat tinggal (bhs. Jawa: pangan, sandang,
papan) disebut memenuhi kebutuhan hidup (bhs. Jawa: pangupa
jiwa). Bila tidak makan, manusia akan menjadi sakit, dan kemudian
mati. Maka makan ialah kebutuhan hidup. Kegunaan pakaian ialah
untuk melindungi badan dari hawa panas atau dingin. Karena bila
terserang panas atau dingin yang hebat, badan menjadi sakit, dan
kemudian mati. Maka pakaian merupakan kebutuhan hidup. Kegunaan
tempat tinggal ialah untuk beristirahat atau tidur. Bila tidak tidur orang
menjadi sakit, dan kemudian mati. Maka tempat tinggal atau
perumahan merupakan kebutuhan hidup.
Gerak manusia yang ditujukan untuk melangsungkan jenisnya berupa
perkawinan. Bila tidak kawin, orang tidak dapat beranak-cucu, hingga
habislah jenis manusia. Maka perkawinan merupakan kebutuhan
hidup.
Demikianlah, "pangupa jiwa" dan perkawinan menjadi kebutuhan
hidup. Bila kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi maka orang akan mati
atau tidak akan berketurunan. Oleh karena itu, bila kebutuhan
hidupnya dapat terpenuhi, orang merasa senang dan bila tidak, orang
merasa susah. Maka rasa hidup ini menimbulkan takut mati dan takut
tidak berketurunan, dan mendorongnya untuk menghindari apa yang
dapat menyebabkan ia mati atau tidak mempunyai keturunan.
Penyakit, kelaparan, ketelanjangan, tidak bertempat tinggal dan
sebagainya, merupakan sebab kematian. Yang menyebabkan tidak
berketurunan, ialah tidak dapat jodoh, perceraian, mandul, dan
sebagainya. Jadi takut mati dan takut tidak mempunyai keturunan,
menurut rasa hidup ialah wajar.
Bila jiwa mengalami kelainan, sering orang melakukan pantang
makan, pantang tidur, pantang istri/suami dan sebagainya. Kelainan
jiwa ini disebabkan karena keinginan memperoleh keunggulan dalam
suatu hal (bhs. Jawa: linangkung) atau karunia dari Yang Mahakuasa.
Menolak kebutuhan hidup demikian itu tidak wajar.
Menolak kebutuhan hidup menimbulkan perang batin. Padahal perang
batin mengakibatkan penderitaan. Maka menolak kebutuhan hidup
berarti mengalami penderitaan jiwa (bhs. Jawa: cilaka).
Bagaimanakah perang batin itu timbul? Seseorang yang pantang
makan tentu akan merasa lapar. Di situ rasa ingin makan
bertentangan dengan rasa pantang makan, maka terjadilah perang
batin. Dalam perang batin kadang-kadang diri sendiri menjadi "yang
ingin makan", dan kadang-kadang menjadi "yang pantang makan".
Ketika menjadi "yang ingin makan", rasanya "aku ingin makan". Ketika
menjadi "yang pantang makan", rasanya "aku pantang makan".
Akulah yang menguasai nafsuku, dan yang ingin makan ialah godaan.
Seolah-olah dirinya sendiri pecah menjadi dua. Demikian kebingungan
seorang bila timbul perang batin, sehingga sangat sukar untuk
mengatakan yang manakah dirinya sendiri.
Apabila orang menyadari kelainan dalam jiwanya, yang berupa
keinginannya memperoleh keunggulan atau karunia, perang batin itu
sirna. Lenyapnya perang batin, membangunkan rasa tenteram

1 komentar: