Konsep Budaya
Makna budaya tak mungkin lepas dari konsep “peradaban”. Ada yang beranggapan bahwa keduanya mempunyai pemgertian yang sama, dan yang lain menganggap sebagai antitesisnya. Istilah “culture” mulai muncul dalam bahasa Inggris di akhir abad keXVIII dan sering digunakan dengan sejumlah ide-ide lain, seperti ‘industri’, ‘demokrasi’, ‘kelas’, dan ‘seni. Di Inggris ide budaya muncul sebagian untuk merespon dampak Revolusi Industri di Inggris dan sebagian lagi karena spekulasi Enlightment tentang asal mula dan arti masyarakat. Dalam bahasa Jerman kultur juga ditemukan pada abad keXVIII akhir, sementara di Perancis istilah “peradaban” pertama kali muncul tahun 1766. Namun walau ide tentang budaya relatif baru, asal mula kata ini lebih lama, yang berasal dari bahasa Latin cultura.
Cultura semula menunjukkan perkembangan alam yang berhubungan dengan pemikiran kultivasi. Kultivasi sering menggambarkan suatu proses perbaikan pribadi. Metafora ini juga menyokong hubungan budaya dan peradaban dengan kemajuan dan perbaikan. Seperti yang diungkapkan sejarawan Perancis, Francois Guizot dalam On Civilisation in France (1829) : ‘ide tentang kemajuan, perkembangan, bagi saya menjadi ide dasar dalam kata ‘peradaban’.
Kultur terdiri dari hasil-hasil kultivasi seperti: karya seni, syair-syair, teks-teks filosofi, literatur, dan sebagainya. Ada beberapa persoalan tentang budaya, yakni memusatkan pada status obyek dan bentuk-bentuk individu, dan apa sajakah termasuk yang termasuk dalam contoh-contoh budaya ‘asli’. Dalam pemikiran Barat, ‘kultur’ berfungsi sebagai konsep evaluatif dan hirarkis. Menurut Arnold dalam Culture and Anarchy-nya (1869), ancaman terbesar budaya asli muncul dari Revolusi Industri, yang mengenalkan produksi mekanik dan budaya populer besar-besaran.
Studi F.R. Leavis yang ditulisnya dalam The Great Tradition, (1948) mengidentifikasi para pengarang yang karya-karyanya membentuk dasar budaya ‘asli’ sebagai kubu melawan pengaruh dehumanisasi masyarakat industri modern. Demikian juga, teoretikus Dwight McDonald (1906) menarik perbedaan tajam antara budaya ‘tinggi’ dan ‘massal’. Kebudayaan bukanlah ekspresi sistem nilai suatu komunitas yang mencerminkan identitas kolektif, melainkan alat yang memungkinkan hegemoni itu berfungsi dalam sistem dominasi. Perintis jalur ini adalah Raymond Williams, Marxis dari Inggris, ketika ia mengkritik fenomena terlepasnya "budaya" dari "masyarakat" dan terpisahnya "budaya tinggi" dari "budaya sebagai cara hidup sehari-hari". Budaya massal menurut McDonald, merupakan bentuk budaya tinggi yang turun nilainya. Budaya ini dibuat oleh para teknisi yang dipekerjakan oleh para pengusaha; audiens-nya konsumen pasif, partisipasinya terbatas pada pilihan antara membeli dan tidak membeli. Kritik sama juga dikemukakan oleh Frankfurt School, Theodor Adorno (1903) dan Herbert Marcuse (1898-1979) menekankan peran budaya populer massal dalam mendorong keadaan kepasifan yang membabi buta pada audiensnya, menanamkan penerimaan membabi-buta dari budaya konsumen dan menciptakan kebutuhan ‘palsu’ pada barang-barang konsumen. Sistem semacam itu juga menghalangi audiens massal untuk bisa terlibat dengan seni dan budaya ‘otentik’, yang malahan menawarkan escapisme.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, ‘budaya’ muncul untuk menunjukkan tidak hanya proses perkembangan individu dan sosial, tetapi juga benda-benda – novel-novel, karya seni, komposisi musik, sajak, bangunan-bangunan – yang dihasilkan sebuah masyarakat. Menurut pandangan ini, proses kultivasi untuk menjadi ‘terpelajar’ terdiri dari mengetahui artifak-artifak budaya. Pemikiran bahwa pemilikan barang-barang artifak tertentu dapat menegaskan status seseorang masih kuat dan persuasif dalam budaya Barat. Status dan kelas sosial tidak lagi ditentukan secara ekslusif oleh harta, tetapi istilah ‘modal budaya’ yang disebut oleh sosiolog Perancis Pierre Bourdieu (1930-2002) menggambarkan secara jelas tingkat mana pendidikan dan budaya masih merupakan bentuk harta simbolis yang terus menentukan dan menyusun hirarki sosial.
Budaya tanpa Nilai-Nilai
Definisi budaya perlu dipisahkan dari pertanyaan kualitas. Ini mungkin menjadi persoalan kontemporer, tetapi telah dinyatakan di abad ke delapan belas oleh ahli filsafat Jerman, Johann Gottfried Herder (1744 – 1803).
Herder berkeberatan dengan fakta bahwa budaya Eropa sebagian besar ditentukan berkaitan dengan Yunani dan Roma kuno dan persistensinya dalam sastra dan Perancis abad ketujuh belas dan delapanbelas, dengan mengabaikan budaya nasional dari tradisi non klasik lain. Penulis cenderung memperlakukan ‘budaya’ dan peradaban’ sebagai istilah yang dapat saling dipertukarkan, tetapi dalam kenyataannya Herder memperkenalkan pemikiran ‘budaya’ (Kultur) berlawanan dengan dominansi peradaban Perancis. ‘Budaya’ menurut Herder adalah cara hidup suatu masyarakat tertentu, yang memasukkan adat dan kebiasaan sehari-hari, keyakinan dan tradisi seiring dengan karya besar artistik dan intelektual yang berkaitan dengan ‘peradaban’. Herder melihat budaya sebagai ekspresi organik dan secara alami berkembang dari satu masyarakat tertentu. Dengan kata lain, sebuah budaya tumbuh tanpa referensi pada standar-standar artifisial tetapi secara spontan menurut geraknya sendiri. Pendekatannya juga menekankan definisi antropologi dari budaya. Definisi antropologi tentang budaya bermanfaat untuk dua alasan penting; pertama meyakinkan pengakuan akan pluralitas budaya dan nilai-nilai sementara juga menantang asumsi tentang superioritas budaya tertentu terhadap yang lain.
Ide budaya visual pertama kali dieksplorasi secara sistematis oleh sejarawan seni Inggris Michael Baxandall, dalam karyanya, Painting and Experince in Fifteenth Century Italy. Pendekatan seni-sejarah tradisional untuk menginterpretasikan karya-karya seni adalah untuk membangun hubungannya dengan karya-karya seni lain. Selain itu, jika karya disandarkan pada pencitraan simbolis yang kompleks, sumber-sumber literatur kontemporer, yang bertingkat dari teks-teks filsafat dan teologi sampai karya-karya klasik tentang mitologi, akan dikonsultasikan untuk menentukan artinya. Seringkali, peran patron aristokrat artis juga dikaji guna menganalisa proses produksinya dan kemungkinan melacak suatu karya seni pada tujuan asalnya akan membuktikan keasliannya (dan meningkatkan harga moneternya).
Baxandall melakukan banyak analisis seperti ini, tetapi selain itu dia menyarankan kita melihat ke luar batas-batas seni dan budaya tinggi dari Renaissance untuk memahami tulisan-tulisan abad ke lima belas. Baxandall juga membandingkan representasi gambaran manusia dalam tulisan dengan pedoman-pedoman menari di waktu yang sama.
Baxandall mencoba merubah konteks dimana karya-karya seni dilihat. Daripada memfokuskan pada budaya artistik ‘tinggi’ dan sastra, dia memasukkan aspek-aspek kehidupan budaya lain yang sama-sama menginformasikan pembuatan citra-citra artistik. Baxandall mengindikasikan bagaimana signifikannya praktek budaya yang tampak minor saat mencoba memahami seni pada waktu itu. Bagi Baxandall an Alpers, karya seni masih menjadi pusat perhatian, dan konteks budaya visual yang lebih luas dieksplorasi untuk menjelaskan secara lebih baik pemahaman tentang tulisan individu atau artis-artis. Dalam kata lain, keduanya karya seni yang memiliki hak istimewa karena dilihat menjadi ekspresi budaya yang lebih penting dibandingkan jenis pembuatan citra lain. Baxandall pada akhirnya menaruh perhatian pada keyakinan-keyakinan, ide-ide dan nilai-nilai – singkatnya, budaya – dari tulisan Renaissance Italia.
Ide budaya visual mencakup perspektif yang lebih luas, dimana obyek studinya tidak lain perhatian elit budaya, tetapi serangkaian ide-ide, keyakinan dan adat yang lebih luas dari suatu masyarakat dan cara-cara dimana kesemuanya itu diberikan ekspresi visual. Ini memiliki sejumlah konsekuensi penting. Di sini berarti bahwa budaya visual dipandang tidak hanya bagian dari karya seni, tetapi juga bagian semua jenis pencitraan visual lain.
Banyak kemudian yang beralih pada analisa budaya visual tidak puas dengan nilai-nilai budaya kaum elit terkait dengan studi seni. Seni masih merupakan unsur pokok yang penting dari budaya visual – meskipun kurang penting dibanding satu abad lalu – tetapi apa yang diperlukan adalah menempatkannya dalam konteks lebih luas guna memungkinkan analisa kritis dengan tepat. Juga perlu untuk melihat keluar guna memahami suatu budaya dalam semua aspeknya. Ini tidak berarti orang harus menghentikan semua penilaian tentang kualitas. Di sini kita sampai pada pengakuan bahwa signifikansi budaya dan sejarah dipisahkan dari pertanyaan kualitas artistik dan estetika.
Budaya Visual dan Budaya Imej
Terdapat dimensi pada pemikiran budaya visual, dan berkaitan erat dengan ide bahwa citra visual telah menjadi inti praktek budaya kontemporer di Barat. Pada sebagian besar sejarahnya masyarakat Barat adalah masyarakat oral, bentuk-bentuk dominan dari ekspresi budayanya adalah oral, bentuk dasar transmisi budaya, cerita-cerita, legenda, sejarah adalah melalui lisan. Tentu, ada sejumlah karya besar tertulis dari jaman lisan budaya Eropa, tetapi ini seringkali dari tradisi oral yang panjang, transkripsi syair-syair yang awalnya dikutip kembali bagi audiens. Penemuan percetakan di abad keXV meningkatkan sirkulasi teks-teks sehingga kata-kata tertulis secara terus menerus menjadi bentuk utama komunikasi budaya. Ini meningkatkan bentuk-bentuk budaya seperti novel, atau surat kabar di akhir tahun 1800-an. Demikian juga penemuan ukiran kayu,dan penemuan teknik untuk produksi imej cetak, termasuk pahatan, litografi dan fotografi. Di abad ke XX penemuan sinema, televisi dan komputer, dan utamanya interface yang familiar dari komputer personal berbasis Apple dan Windows.
Media seperti ini tidak sepenuhnya menggantikan bentuk-bentuk budaya ‘literasi’ tradisional. Sebagian besar sejarah budaya visual pasca perang digerakkan oleh keinginan untuk menjadikannya lebih spektakuler.
Oleh karena itu, secara umum masyarakat Barat telah menjadi budaya visual, yang difasilitasi dan bahkan mungkin diprakarsai oleh teknologi-teknologi tertentu. Yang lain menyatakan alasan lain adalah ketergantungan konsumerisme pada tontonan visual. Walter Benjamin (1892-1940) menganalisa gedung perbelanjaan pertama di Paris awal tahun sembilan belas, yang fungsi utamanya adalah untuk menciptakan sebuah tontonan magis – apa yang diistilah Benjamin sebagai ‘lanskap impian’ – untuk meningkatkan konsumsi. Jean Baudrillard menyatakan dalam semua aspek citra masyarakat Barat pada dunia telah menggantikan pengalaman nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar