Sabtu, 25 Februari 2012

Aryati

Aryati 
Cerpen: Sunarta, Wayan 


Lagu dangdut mengalun lirih. Lampu di ruang itu menyala temaram. Aku duduk di sudut yang remang. Sebotol bir hitam di meja dan rokok kretek kukepit di jari tangan. Malam minggu kulalui bersama uap alkohol dan rayuan-rayuan manja perempuan penjaja cinta. Mungkin dengan cara ini aku bisa mengobati luka batin dan kesepian-kesepianku. Sudah hampir lima tahun aku meninggalkan rumah keparat itu. Walau aku selalu merasa rindu untuk pulang, terutama rindu pada Ibu, namun perasaan itu berusaha kutepis.
Setiap aku memikirkan kampung halaman selalu bermunculan sejuta rindu dendam. Ayah yang pemabuk. Ibu yang sakit-sakitan. Adik perempuanku yang berangkat remaja. Seribu rindu dendam bergumul dalam batinku.
Bagaimana nasib Ibu saat ini? Bagaimana sekolah adik perempuanku? Sampai saat ini aku hanya memikirkan kedua perempuan yang sangat kucintai itu. Aku tidak peduli dengan ayahku, pemabuk keparat itu.
Mengingat ayahku serasa mengingat seribu keparat yang melubangi otakku. Sejak pertengkaran itu, sejak diusirnya aku dari rumah. Sejak itulah rindu dan dendam menjadi satu dalam jiwaku. Sejak itulah aku terlunta-lunta menyabung nasib sampai ke kota ini. Segala pekerjaan kasar telah kulakoni demi menyambung hidup di perantauan. Sejak diusirnya aku dari rumah, sejak itu pula aku memproklamirkan diri menjadi orang merdeka dan berusaha hidup dari tetesan keringat sendiri.
Kuteguk bir dalam gelas. Kuhembuskan asap rokok. Tawa cekikikan perempuan-perempuan itu terdengar sayup-sayup dalam keremangan. Lelaki hidung belang dengan mata jelalatan mondar-mandir mencari pasangan yang cocok dikencani.
Seorang perempuan menghampiriku. "Boleh ditemani, Mas?"
Aku mengisap rokok dalam-dalam. Terasa bau wangi dari tubuhnya, begitu menyengat hidungku. "Sebentar. Saya mau nongkrong dulu."
Setelah bosan merayu dengan berbagai cara, perempuan itu pun pergi sambil menggerutu. Aku ketawa kecil. Aku berusaha maklum. Memang dalam setiap tempat seperti ini, para penjaja cinta itu bersaing ketat dengan kawan-kawannya untuk menggaet pelanggan. Begitulah kehidupan malam.
Para penjaja cinta itu mungkin tidak tahu bahwa tidak semua laki-laki yang nongkrong di tempat seperti ini berkeinginan untuk kencan. Banyak juga yang hanya sekedar duduk-duduk melepas malam. Atau minum-minum sambil mengusir sepi. Atau banyak juga mahasiswa yang datang ke tempat seperti ini untuk keperluan penelitian.
Bir dalam gelas tinggal seperempat. Telah tiga botol kuhabiskan. Perasaanku mengatakan ada sepasang mata yang menatapku tajam-tajam dari sebuah sudut remang. Namun, aku bersikap tidak acuh. Sangat biasa perempuan-perempuan di tempat seperti ini suka mengamati mangsanya. Aku minum sisa bir dalam gelas. Aku balas menatap perempuan di sudut remang itu. Dia kembali menatapku lekat-lekat. Aku penasaran dibuatnya. Tapi mengapa dia tidak menghampiri aku seperti perempuan-perempuan lainnya? Mengapa dia hanya menatap dari sudut remang? Atau dia ingin aku yang lebih dulu menghampirinya? Baru kali ini aku dibuat penasaran dengan tingkah perempuan malam seperti itu. Biasanya aku nongkrong dan minum bir tanpa pernah mempedulikan mereka. Aku merasa kena batunya sekarang.
Akhirnya aku pun menghampiri perempuan itu. Aku duduk di sampingnya dan diam seribu bahasa. Dalam keremangan lampu aku dapat merasakan betapa kikuknya dia. Dia benar-benar salah tingkah.
"Hai," sapanya ramah dengan suara sedikit gemetar. Serasa jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Rasa-rasanya aku pernah akrab dan pernah mendengar nada suara ini, walau samar-samar.
Selama beberapa menit kami hanya berdiam diri saja. Aku ingin tahu siapa yang lebih kuat berdiam diri. Akhirnya dengan suara masih gemetar ia menawarkan dirinya, seperti yang sudah kuduga.
"Kita ngobrol di kamar, Mas?!"
Serasa bulu tubuhku bergetar. Suaranya terasa pernah akrab. Ya, itu seperti getar suara Aryati. Ah, tidak mungkin, aku menguatkan perasaanku.
Aku tatap wajah perempuan itu lekat-lekat. Astaga. Wajah itu sangat mirip dengan Aryati yang beranjak remaja. Ah, aku berusaha bertahan dengan pikiran sehatku. Tidak mungkin Aryati berada di tempat seperti ini. Ini hanya halusinasi saja. Mungkin karena pengaruh alkohol yang terlalu berlebihan.
"Siapa namamu?" tanyaku dengan penuh perasaan yang sedang bergejolak.
"Leli," dia menjawab setenang dan selembut mungkin.
"Baru ya di sini?" aku berbasa-basi.
"Sudah sebulan, Mas."
Perasaanku sudah mulai tenang. Rinduku pada adikku sedikit terobati dengan menatap wajah perempuan yang mirip Aryati ini lekat-lekat.
"Leli dari mana?"
Betapa kagetnya aku, dia menyebut nama sebuah desa yang sangat kuakrabi, desa kelahiranku. Seribu rindu seribu dendam kembali bergemuruh dalam dadaku. Kembali aku teringat Ibu, dan juga wajah adikku. Tiba-tiba saja dendamku pada Ayah kembali menemui salurannya.
"Kenapa, Mas? Mas dari sana juga, ya?"
"Ndak..ndak apa-apa. Ya, saya memang dari sana juga."
"Kenapa Mas kelihatan kaget?"
"Saya kangen dengan kampung."
Rasa penasaran dan rindu pada kampung halaman, terutama rindu pada Ibu dan adik perempuanku bertambah kuat menggelayuti jiwaku.
Akhirnya, saya tuntun tangannya menuju kamar yang ditunjuknya. Kamar itu tidak begitu besar, namun rapi dan bersih. Agaknya dia sangat telaten merawat kamarnya, seperti adikku di kampung. Dandanannya juga tidak begitu norak, tidak seperti perempuan lainnya. Dia sangat sederhana.
"Matikan lampu, ya?"
Dia beranjak menuju tombol sakelar.
"Biarkan saja terang. Aku takut gelap," aku mencegah tangannya menekan sakelar di tembok. Bau tubuhnya begitu wangi dan asli.
Dalam terang itu aku leluasa mengamati seisi kamar, dari sudut ke sudut. Foto-foto berjejer rapi di tembok. Foto dirinya. Foto bintang sinetron favoritnya.
"Kamu suka bintang sinetron itu, ya?" tanyaku basa-basi. Dia mengangguk malu.
"Adikku juga mengidolakan bintang sietron ini," ujarku sambil lalu."Dulu waktu masih di kampung, adikku selalu merengek-rengek minta dibelikan poster ini."
Tiba-tiba saja, mata Leli basah. Jangan-jangan aku telah menyinggung perasaannya.
"Kamu kenapa? Maafkan bila aku menyinggung perasaanmu."
"Tidak, Mas. Saya tidak apa-apa. Mas begitu baik dan lembut seperti kakak saya."
"Kamu punya kakak?"
Aku menatap perempuan itu lekat-lekat. Dia betul-betul mirip Aryati. Bentuk dagunya, hidungnya, matanya, bibirnya. Oh, aku tak tega meniduri perempuan ini. Bayangan dan kenangan itu terasa menggangguku. Kenangan yang begitu menyiksa yang selalu datang pada malam-malam sepiku. Dengan perempuan ini aku membayangkan sedang ngobrol dengan adikku di kampung.
Entah mengapa perempuan ini begitu percaya padaku? Dia lalu bercerita tentang kehidupannya di masa lalu, mengapa dia terjerumus ke tempat seperti ini. Aku serasa tidak percaya mendengar ceritanya itu. Aku seperti mimpi.
"Jadi kamu Aryati?" aku tidak percaya. "Benarkah kamu Aryati?"
"Ya, Mas. Saya Aryati. Berbulan-bulan saya mencari Mas. Saya mendengar kalau Mas sudah lama tinggal di kota ini. Ayah kawin lagi Mas. Saya benar-benar kecewa dengan sikap Ayah. Saya putuskan untuk menyusul Mas ke sini, meski saya tidak tahu betul alamat Mas. Saya diantar tukang ojek dan akhirnya saya dibawa ke tempat ini. Saya bahagia bisa ketemu Mas, meski di tempat seperti ini."
O, Tuhan, apakah aku mampu menerima kenyataan ini? Beribu emosi melanda batinku. Bahagia, rindu, sakit hati, marah bercampur jadi satu.
Aku memeluk Aryati erat-erat. Malam berlalu seperti biasa.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar