Sabtu, 25 Februari 2012

Nama Terakhir di Mata Pedang

Nama Terakhir di Mata Pedang 
Cerpen: Sunlie Thomas Alexander 


IA sudah lama tidak lagi memiliki ketakutan pada kematian. Ia hanya mengenang ketakutan itu sebagai bagian dari masa lalu yang naif. Dalam sebentuk patung Thai Se Ja1 dari kertas dan bambu yang seram dengan sepasang mata merah besar melotot garang dan lidah panjang yang terjulur keluar di masa kecilnya, ketika ayahnya mengajaknya menyaksikan ritual Chiong Si Ku2 di pelataran kelenteng.
Ayahnya kemudian, pada suatu hari saat hujan turun begitu lebat sejak pagi, ditemukan mati gantung diri. Kejadian itu tak lama setelah ibunya pergi dengan seorang lelaki dari seberang. Umurnya saat itu 12 tahun. Ia tidak lagi ingat bagaimana wajah ayahnya ketika ditemukan orang-orang tergantung di palang-palang gudang penyimpan lada. Tetapi, ia masih ingat benar wajah ibunya yang dalam keadaan perut buncit bernyanyi-nyanyi di pinggir jalan tujuh bulan berselang. Ia tidak menangis juga tidak memaki waktu itu. Hanya sesekali saja ia terkenang pada wajah perempuan cantik itu, pada sepasang matanya yang sayu, ketika ia sedang mencumbui pacarnya di kota.
Ia sampai di seberang sungai itu dengan sekujur tubuh basah kuyup oleh keringat dingin. Sekelilingnya begitu gelap. Sehingga untuk melihat kedua kakinya sendiri pun, ia harus menyalakan batang korek api. Dengan hati-hati, penuh perhitungan, karena jalan setapak yang akan dilaluinya tidak rata, berbatu-batu, dan penuh semak belukar, ia mulai menapakkan kakinya selangkah demi selangkah. Berkali-kali ia merutuki diri karena senter yang telah dipersiapkannya ketinggalan. Seekor kelelawar kecil yang lewat sambil mencicit keras di atas kepalanya membuatnya terlonjak kaget. Tak urung ia menyumpah panjang-pendek. Sambil meraba-raba, ia terus menghabiskan sebatang demi sebatang korek api untuk menerangi jalan. Untungnya, kilat sesekali berkelebat membantu keluasan pandangannya. Rasa dingin membuatnya menggigil. Satu dua kali kakinya yang bersandal kulit terantuk batu, beberapa kali tergores semak berduri, dan sekali sempat terpelosok ke dalam lubang berair sedalam betis. Tapi tanpa menghiraukan rasa sakit, ia terus berjalan. Suara lolongan anjing yang lapat-lapat terdengar di kejauhan semakin menyakinkan hatinya kalau tempat yang ia tuju memang berada di depan. Ia mencoba mengumpulkan semua ingatan di antara keterbatasan cahaya. Berkali-kali angin yang agak kencang memadamkan api batang koreknya, sehingga berkali-kali pula ia harus menyalakan batang baru. Ia tak tahu berapa lamanya ia berjalan. Ketika isi kotak korek apinya tinggal tiga batang, akhirnya ia melihat kerlip cahaya itu. Samar-samar di antara kerapatan tanaman lada. Tanaman yang tak pernah dapat ia lupakan aromanya. Ternyata ia memang tak salah jalan! Bergegas ia mempercepat langkahnya. Kerlip cahaya kecil itu hanya tinggal beberapa meter di hadapannya.
Pondok itu, keempat sisi dindingnya terbuat dari batang-batang kayu kecil dan beratap daun rumbia. Berbentuk panggung, berdiri di atas enam batang tiang kayu Seru. Cahaya yang dilihatnya tadi tak lain adalah nyala redup sebuah lampu teplok yang ditempelkan di samping pintu pondok. Ia baru saja hendak menghampiri pintu depan pondok itu, ketika tiba-tiba dari bawah kolong pondok melesat keluar seekor anjing besar yang berbulu hitam pekat. Dengan sepasang mata berwarna merah menyala menyorot galak yang mengingatkannya pada mata patung Thai Se Ja, anjing itu menggeram-geram memamerkan taring-taring tajam berkilat. Ia langsung tersurut mundur dan secara refleks meraba pinggangnya di mana terselip sebilah belati model Rambo. Saat itulah tiba-tiba pintu pondok terbuka dengan keras disusul sebuah suara bentakan, "Siapa di sana!". Sesaat berikutnya muncul sesosok tubuh kurus agak bungkuk di ambang pintu. Ketika sosok tersebut mengangkat lampu strongkeng di tangan kanannya tinggi-tinggi, ia berseru gembira.
**
SEPULUH tahun ia pergi dan ketika kembali yang tersisa hanyalah sebuah rumah besar tak terawat. Terkunci rapat, angkuh, dan berdebu. Tapi hal itu tak menyurutkan niatnya untuk tidur di rumah yang membesarkannya tersebut. Walaupun bisa saja ia menginap di losmen atau hotel. Rumah tua itu seperti memanggil segenap kekangenan, foto-foto buram yang tergantung di dinding, tatanan ruangan yang tidak berubah, juga gambar Dewa Kwan Ti di sin thoi3. Ia selalu mengenang bagaimana ayahnya setiap malam membakar tiga batang hio dan berlutut di muka altar dewa itu. Tangannya menjadi hitam ketika ia meraba permukaan altar.
Ia tak mempedulikan beberapa tetangga yang memandangnya dengan aneh. Ia hanya membalas mereka dengan anggukan dan senyum kecil. Meskipun ia merasa pandangan-pandangan itu penuh dengan pertanyaan, misalnya kenapa ia pulang, apa yang dicarinya? Orang-orang itu cepat-cepat berpaling muka yang berubah pucat atau masuk ke dalam rumah. Ia menyeringai kecut. Ia merasa ingin secepat mungkin menyelesaikan semuanya. Dan hanya seorang yang dapat menolongnya. Seorang yang tak dapat dipisahkan dari masa lalunya. Agaknya ia tahu, ke mana harus mencari lelaki tua itu.
**
LELAKI tua itulah yang menceritakan padanya tentang sebilah pedang bermata dua. Ia sudah lupa kapan persisnya, yang jelas sudah lama sekali. Waktu itu ia masih kecil, entah umur berapa. Mata pedang itu konon berukir 300 nama. Silsilah keluarganya. Keluarga yang bermarga dua buah huruf. Ayahnya amat membanggakan marga keluarga mereka tersebut. Kata ayahnya, keluarga yang memiliki marga berupa dua huruf amat langka. Bahkan, di tanah leluhur sekali pun. Dan leluhur mereka adalah kaum pendekar, seloroh ayahnya lalu terbahak. Ia menyimak semua penuturan itu dan menyimpannya baik-baik dalam ingatan.
Tentu, tentu saja, ia tak pernah melihat pedang pusaka itu. Lelaki tua itu hanya bercerita pedang itu bergagang emas dengan mata sepanjang dua jengkal yang terbuat dari baja putih. Syahdan, pedang itu sanggup membelah balok besi. Menurut lelaki tua itu, kakeknya selalu memandikan pedang tersebut dengan air kembang dan mengasapinya dengan tiga batang hio pada setiap tanggal satu dan lima belas Imlek. Hal tersebut harus dilakukan agar kesaktian dan tuah pedang pusaka itu tetap terjaga.
Bila kini ia hendak mencari pedang itu, tentu pula hanya lelaki tua itulah yang dapat memberinya petunjuk di mana pedang itu berada sekarang. Hanya lelaki itu, lelaki tua yang telah menjadi bagian dari sejarah keluarganya. Saksi dari masa kejayaan kakeknya.
Orang-orang memanggil kakeknya Palet Teuw4, lantaran kakeknya pernah menjadi kepala parit pertambangan timah di zaman kolonial. Setelah kemerdekaan, kakeknya merintis perkebunan lada yang terbentang luas dengan puluhan pekerja, Tionghoa mau pun Melayu. Juga jual beli karet dan menjadi agen minyak tanah. Orang-orang kampung banyak yang mencurigai kakeknya menyimpan azimat yang membuat usaha apa pun yang dikerjakannya selalu berbuah hasil berlimpah. Ayahnya adalah anak tunggal. Sehingga ketika kakeknya meninggal, semua usaha itu diwariskan kepada ayahnya. Tetapi dalam kurun waktu sepuluh tahun, kekayaan itu kian menipis. Ayahnya mulai berutang ke sana-ke mari untuk menutupi upah pekerja dan kerugian. Kata orang, ayahnya bukanlah anak kandung kakeknya. Tapi anak haram hasil hubungan neneknya dengan seorang tentara Jepang. Karena itu, ayahnya tidak mewarisi urat dagang sang kakek.
Lelaki tua itu adalah pembantu setia sang kakek. Orang kepercayaan. Bahkan, melebihi kepercayaan kakek pada neneknya. Itu kata ayahnya dengan sedikit marah. Lelaki tua itu bukan hanya dipercayakan menangani perkebunan lada beserta puluhan buruh, tetapi juga rahasia-rahasia keluarga. Ayahnya memang tidak pernah akur dengan lelaki tua itu. Itulah sebabnya setelah kakeknya meninggal, lelaki tua yang membujang itu memilih tinggal di pondok kebun.
Ia tidak pernah lupa, lelaki tua itu suka menggendongnya di punggung sambil mengawasi para pekerja memanen lada. Lelaki tua itu pulalah yang memberinya seekor burung betet berkepala merah yang ia beri nama Ibed. Burung kesayangannya itu mati saat ia naik kelas enam. Bila sedang tidak sibuk, lelaki tua itu akan mengajaknya duduk-duduk di tangga pondok kebun. Sembari menikmati angin sore yang sejuk dan menghisap tembakau lintingan daun jagung, biasanya lelaki tua itu akan bercerita. Cerita yang lucu-lucu dan ia masih mengingat sebagian cerita-cerita itu sampai sekarang.
**
KINI ia kembali berhadapan dengan lelaki tua itu. Ditatapnya sosok kurus berkaUs oblong putih lusuh dan kain sarung yang duduk bersila di atas tikar daun pandan. Ia menduga-duga usia sebenarnya dari lelaki tua itu. Mungkin sudah delapan puluh tahun lebih. Rambut di atas kepalanya yang jarang sudah begitu putih. demikian pula dengan kerut keriput di wajahnya, wajah yang khas Melayu, penduduk pribumi pulau ini. Wajah itu tampak lelah. Hanya saja sepasang matanya masih tampak jernih bercahaya. Dan mata itu balas menatapnya. Terdengar helaan nafas berat. Ia menjadi gelisah.
"Kakekmu menguburkan pedang itu di bawah sebatang pohon kelapa bercabang. Hanya itu yang kakekmu katakan. Di mana tempatnya, Amang5 tidak tahu, kakekmu tidak pernah mau mengungkapkannya." Tukas lelaki tua itu akhirnya dengan lemah setelah tiga kali ia melontarkan pertanyaan yang sama. Ia tercenung. Tangannya agak bergetar ketika ia meraih gelas kopinya. Lama mereka kembali terdiam, hanya saling pandang. Antara cucu majikan dan pembantu setia. Walaupun hubungan yang sesungguhnya mungkin lebih dalam.
Lelaki tua itu kemudian kembali bercerita. Sebuah cerita yang belum pernah didengarnya. Cerita tentang seorang pendekar pedang tak tertandingi di Kang Ouw6 bernama Sai Mun Chui Siat7.
Meskipun pendekar itu lebih suka memencilkan diri sebagai seorang petani di desa bersama istri dan anak lelakinya yang baru berumur empat tahun daripada mencampuri urusan rimba persilatan (demikian lelaki tua itu membuka cerita), namun nama besar dan kedigdayaannya selalu mengundang iri dengki para pendekar lainnya, baik dari golongan hitam maupun putih untuk menantangnya. Sehingga keinginannya untuk hidup dengan tenang bersama keluarga tak pernah dapat kesampaian. Tentu, barangsiapa yang mampu mengalahkannya akan menjadi momok bagi rimba persilatan! Tetapi, puluhan pendekar itu hampir semuanya tewas dengan sia-sia di ujung pedangnya. Atau bila ada yang berhasil melarikan diri, dapat dipastikan dengan luka parah dan tubuh yang tak utuh lagi.
Hingga pada suatu hari, saat dia sedang bekerja di sawah, sekelompok pendekar golongan hitam menculik istri dan anaknya. Pendekar-pendekar itu dengan licik mengancam akan membunuh anak-istrinya bila dia tidak menuruti keinginan mereka untuk membunuh Pendekar Empat Alis, Luk Siu Fung, dan menyerahkan kepala pendekar itu pada malam purnama kedua belas. Karena pendekar yang konon welas asih itu merupakan rintangan terbesar mereka dalam menguasai Kang Ouw. Dia tak dapat berbuat apa-apa selain terpaksa menuruti semua kehendak gerombolan pendekar golongan hitam tersebut.
Maka pada purnama ketujuh setelah pencarian panjang, akhirnya dia berhasil menemukan Luk Siu Fung. Keduanya berhadapan di dasar Lembah Seribu Kutukan. Walau Luk Siu Fung bertangan kosong, tapi delapan penjuru Kang Ouw tahu kehebatan jurus Jari Emasnya. (Lelaki tua itu menggambarkan pertarungan tersebut bagaikan deru badai, yang membuat ia tercengang-cengang: pasir, batu, pohon-pohon berterbangan laksana dilanda puting beliung).
Konon, sampai seribu jurus kedua pendekar itu bertarung, belum tampak tanda-tanda siapa yang lebih unggul. Hingga memasuki jurus keseribu dua ratus, satu sabetan pedang Sai Mun Chit Siat laksana petir menyambar memutuskan jari telunjuk dan jari tengah Luk Siu Fung yang hendak menjepit pedangnya. Pendekar muda itu meraung keras dan berkelebat melarikan diri di tengah hujan pasir8. (Sampai di sini, lelaki tua itu berhenti cukup lama, menghirup kopinya. Setelah membakar sebatang tembakau lintingan dan menghisapnya beberapa kali, lelaki tua itu baru melanjutkan dengan lirih).
Akhirnya, dengan membawa dua potongan jari Luk Siu Fung yang terpenggal, Sai Mun Chui Siat menemui gerombolan pendekar golongan hitam yang menculik anak-istrinya di hutan randu tempat perjanjian. Tetapi apa yang terjadi? Dia menemukan istrinya telah tewas tergantung di dahan sebatang pohon randu dalam keadaan telanjang bulat. Sekujur tubuh perempuan itu dipenuhi luka memar dan goresan pedang. Anaknya sendiri terkapar tak jauh di bawah pohon dalam keadaan kritis. Meskipun nyawa bocah cilik itu masih dapat diselamatkan, namun lukanya akibat penganiayaan tak kalah mengenaskan. Sai Mun Chi Siat tidak meneteskan air mata setitik pun, hanya saja wajahnya tampak mengelam di bawah terang purnama.
**
LELAKI tua itu mengakhiri cerita dengan wajah muram. Dari celah daun jendela pondok yang tak rapat, angin malam menyelinap masuk membawa aroma daun lada. Ia tertegun memperhatikan asap tembakau lintingan yang dihembuskan lelaki tua itu meliuk-liuk membubung tinggi seperti harapan yang pupus. Diteguknya sisa kopi di gelasnya dengan hambar lalu ia menyulut sebatang rokok. Ia merasa kepalanya berat bagai diganduli batu. Berbagai pertanyaan berloncatan di dalam pikirannya yang penat. Seperti mengapa kakeknya tidak mewariskan pedang pusaka keluarga itu kepada ayahnya dan memilih menguburkan pedang tersebut. Di manakah ia harus mencari sebatang pohon kelapa bercabang dua. Yang lebih penting lagi, apakah pohon kelapa itu masih ada? Ia merasa pertanyaan-pertanyaan itu mencekiknya. Lalu bagaimana ia harus melaksanakan niatnya? Ia teringat pada pacarnya dan lelaki jahanam yang telah memikat hati perempuan brengsek itu. Ia bertekad bulat untuk menemukan pedang itu. Ia harus menambah sebuah nama lagi di mata pedang itu menjadi 301 nama. Namanya sendiri. Di bawah nama kakeknya. Setelah itu biarlah pedang itu lenyap ditelan bumi. Seperti kematian yang akan menelan tubuhnya dengan penuh kehormatan sebagai keturunan terakhir keluarga Sai Mun.
Tatkala ia kembali menatap wajah lelaki tua di hadapannya, ia seolah melihat wajah keriput itu seperti wajah Thai Se Ja!
**
AH, saya tamatkan saja kisah sampai di sini. Saya tidak tahu lagi bagaimana kelanjutannya. Saya rasa kalian juga tidak terlalu ambil pusing akan akhir kisah ini. Cerita ini terlalu gelap, mungkin saya tidak mampu menyusunnya dengan lebih baik lagi.
Saya hanya merasa penasaran dengan cerita tentang pendekar pedang Sai Mun Chui Siat yang dituturkan lelaki tua itu. Apakah cerita itu benar-benar kisah nyata atau hanya fiksi. Jangan-jangan cuma karangan lelaki tua itu. Saya telah mencoba mencari tahu kebenarannya. Tapi tak satu keterangan pun yang mampu kuperoleh. Tak juga dalam buku-buku cerita silat populer, karya-karya sastra Cina klasik, buku-buku sejarah, majalah, koran, film-film, internet atau ensiklopedi.*** 
Pulau Bangka, September 2004 
Catatan:
1) Dewa kematian dalam mitologi Cina.
2) Sembahyang Rebut, pesta untuk arwah dalam tradisi masyarakat Cina penganut Senisme yang diadakan pada setiap tanggal 15 Chit Gwee Imlek.
3) Altar sembahyang yang terletak di ruang depan rumah.
4) Kepala Parit. Pada masa kolonial, setiap wilayah pertambangan timah di Bangka dibagi-bagi dengan sebutan parit yang dikepalai seorang Kepala Parit.
5) Paman (bahasa Melayu Bangka).
6) Dunia persilatan Tiongkok.
7) Tokoh Sai Mun Chui Siat dalam cerita ini tidak dapat digolongkan sebagai pendekar golongan putih atau hitam. Dia bukan seorang pendekar yang menempuh jalan lurus, juga bukan pendekar sesat.
8) Sebenarnya pertarungan antara Sai Mun Chui Siat dan Luk Siu Fung tidak ada yang kalah dan menang. Namun, Luk Siu Fung yang mengetahui alasan Sai Mun Chui Siat menginginkan nyawanya dengan tulus merelakan dua buah jari tangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar