Sabtu, 18 Februari 2012

Pagi Yang Terbakar

Pagi Yang Terbakar 
Cerpen: Teguh Winarsho AS 



MENGGIGIL tubuh Sawitri, berjalan cepat menerobos udara subuh. Berkali-kali ia mengeratkan jaket berusaha mengusir dingin. Kabut masih mengeremang di udara, terkadang menghalang pandang matanya yang sembab merah. Semalam Sawitri memang hanya tidur beberapa jam. Beberapa jam yang sangat menggelisahkan. Pandu, anak laki-lakinya, sudah dua hari demam tergolek di atas ranjang. Tapi bukan itu yang membuat Sawitri gelisah. Bukan. Siang nanti ia bisa membawa Pandu ke klinik dokter atau rumah sakit dan pasti sembuh. Sawitri selalu percaya pada para dokter yang bisa memberi keajaiban, seperti malaikat.

Pandu masih tidur nyenyak sewaktu Sawitri keluar rumah, mengendap-endap lewat pintu samping agar tak dilihat orang. Sawitri sebenarnya bisa mengajak Pandu, menggendongnya di belakang dengan kain jarik. Mungkin Pandu akan tetap tidur nyenyak dalam gendongannya hingga ia kembali ke rumah. Menyiapkan makan pagi dan siang sedikit berangkat ke klinik dokter. Tapi Sawitri tak tega melihat dirinya tampak begitu hina, seperti pengemis, di depan Palwito, suaminya. Ya, ya, Sawitri merasa malu pada Palwito. Sawitri tak tahu apa yang akan dikatakan Palwito jika pagi-pagi buta ia datang sambil menggendong Pandu. Bagaimana tatap mata Palwito. Perasaan Palwito. Ah.....

Tapi rumah Palwito masih gelap. Tubuh Sawitri kian menggigil. Kedua lututnya tiba-tiba bergetar gemetar. Sawitri masih ingat, dulu ia pernah berjanji tak sudi menginjakkan kaki di rumah itu. Tapi nyatanya pagi ini ia harus datang. Pagi ini ia harus ketemu Palwito yang sudah enam hari tak pulang. Ya, pagi ini ia harus berjuang mati-matian menjaga perasaannya sendiri. Ah, apa yang sedang dilakukan Palwito di dalam rumah itu? Sawitri tiba-tiba merasa batinnya perih, ngilu, seperti ditusuk belati. Rumah di depannya tampak jauh lebih bagus dari rumah yang sudah hampir sepuluh tahun ia tempati. Warna catnya masih baru. Juga kursi ukir khas Jepara di teras depan. Pot-pot bunga. Lampu hias.

Sekali lagi mengeratkan jaket, dengan lutut gemetar Sawitri melangkah pelan, hati-hati. Sawitri tak ingin kedua kakinya tiba-tiba menginjak ranting kering yang bisa menimbulkan bunyi dan kecurigaan orang lain. Tapi Sawitri juga tak mau membuang waktu sia-sia. Halaman rumah itu kurang begitu nyaman untuk berdiri menegakkan tubuhnya yang sejak tadi menggigil gemetar. Ia harus segera ketemu Palwito. Ya, hanya Palwito. Bukan yang lain. Sawitri terus melangkah, kali ini lebih pelan dan hati-hati takut suatu langkah kakinya membangunkan orang lain yang sedang tidur. Ya, ya, Sawitri tak ingin membangunkan orang lain di pagi buta kecuali Palwito, suaminya. Hanya Palwito!

Sawitri kini telah berdiri di depan pintu. Sebentar lagi ia akan mengetuk pintu rumah itu. Sebentar lagi ia akan ketemu Palwito yang muncul dari balik pintu. Sebentar lagi ia akan bertatap muka dan bicara panjang lebar dengan Palwito. Sejak semalam ia sudah menyiapkan kata-kata yang akan ia sampaikan pada Palwito. Tentu Palwito hanya mengenakan sarung dan kaus oblong kusam, lubang-lubang. Atau secara pendek butut dan telanjang dada. Rambutnya kusut acak-acakkan. Ya, ya, Sawitri tahu kebiasaan Palwito yang tak pernah berubah dari dulu.

Tapi, ah, benarkah kebiasaan buruk itu masih berlangsung di sini? Masih adakah kaus kusam dan celana pendek butut? Bagaimana jika tiba-tiba Palwito muncul dengan piyama halus dan wangi? Rambutnya disisir rapi? Bukankah....

Sawitri tersentak. Sebelumnya pikiran semacam itu tak pernah muncul dalam otaknya. Tak juga semalam ketika ia gelisah tak bisa tidur. Sesaat Sawitri memperhatikan tubuhnya dari atas hingga bawah. Ia hanya mengenakan daster dirangkap jaket kulit dan sandal jepit usang melekat di kedua kakinya yang kotor penuh lumpur lantaran jalan becek sisa hujan kemarin siang. Sawitri kemudian meraba-raba rambutnya, menyisir dengan jari-jari tangannya. Ah, ia terburu-buru hingga lupa tak sempat sisiran. Rambutnya kusut dan hanya ia ikat dengan tali karet yang tanpa sengaja ia temukan di dapur. Sedang wajahnya? Lagi-lagi Sawitri lupa sekadar cuci muka. Sawitri mencoba melihat wajahnya di kaca depannya lewat bayangan lampu hias di teras. Tapi kaca itu terlalu gelap.

Mendadak Sawitri gamang. Ragu. Bayangan Palwito mengenakan piyama halus, wangi, rambutnya disisir rapi, tiba-tiba terus berkelebat-kelebat dalam benaknya. Sawitri memang belum pernah melihat Palwito mengenakan piyama, tapi bayangan itu tampak begitu nyata. Sawitri memukul-mukul kepalanya mencoba mengusir bayangan itu, tapi ia justru mendapati kaca di depannya tiba-tiba berubah seperti layar televisi menampilkan gambar Palwito mengenakan piyama halus, wajahnya bersih, turun dari ranjang empuk menghampiri pintu. Langkah Palwito tegas di atas lantai marmer mengkilat. Tubuhnya menebar wangi.

Masih berdiri di depan pintu, Sawitri urung mengetuk pintu. Bayangan itu begitu mengganggu. Sawitri tak mau ketemu Palwito mengenakan piyama, rambutnya disisir rapi. Tak mau ketemu Palwito yang tubuhnya menebar wangi. Ia hanya mau ketemu Palwito dengan kain sarung dan kaus oblong butut, lubang-lubang. Palwito dengan celana pendek kusam dan telanjang dada. Palwito dengan rambut acak-acakan. Palwito dengan wajah kusut. Palwito dengan keringat bau jengkol...

SAWITRI melangkah cepat. Ia harus segera sampai rumah sebelum Pandu bangun. Sebelum bocah laki-laki itu menangis keras. Sepanjang jalan pulang Sawitri geram, terus merutuki kebodohannya tak berani mengetuk pintu rumah Palwito. Seandainya ia berani mengetuk pintu dan ketemu Palwito, tentu kini ia pulang dengan tenang. Tapi Sawitri sadar, ia sendiri yang membuat kesalahan. Ia terlalu buru-buru hingga lupa berdandan. Diam-diam ia takut terlihat buruk di depan Palwito. Ah....

Sawitri mendapati Pandu sudah bangun, tapi tak menangis. Mata bocah laki-laki itu sayu menatap ibunya yang baru datang. Sawitri tersenyum sebelum beringsut ke dapur menyiapkan sarapan pagi. Siang sedikit ia mesti membawa Pandu ke dokter. Sawitri selalu percaya pada para dokter yang bisa memberi keajaiban, seperti malaikat. Tapi, ah, tiba-tiba Sawitri merasa enggan membawa Pandu ke dokter sebelum ketemu Palwito. Ya, ya, ia mesti ketemu Palwito terlebih dulu untuk minta uang. Tapi benarkah? Sawitri tiba-tiba termangu. Beku.

Sawitri ingat uang yang ia simpan di bawah tumpukan pakaian di lemari lebih dari cukup untuk membawa Pandu ke dokter. Tapi, entahlah, Sawitri merasa perlu minta uang lagi pada Palwito. Merasa perlu memberi tahu Palwito bahwa Pandu sakit. Merasa perlu mengingatkan Palwito bahwa sudah enam hari ia tak pulang!

Sementara Sawitri sibuk di dapur, di kamarnya Pandu terus merintih. Wajahnya pucat, matanya berkedip-kedip kian sayu...

***

UDARA subuh selalu dingin. membuat Sawitri menggigil kedinginan menyusuri jalan kampung. Apalagi kali ini ia tak memakai jaket. Sawitri telah mengganti daster dan jaket yang kemarin pagi ia pakai dengan celana jeans dan kaos ketat. Membuat tubuhnya terlihat seksi dan tampak jauh lebih muda. Baru tadi siang ia membeli celana jeans dan kaos ketat itu di pasar. Sawitri merasa perlu membeli pakaian baru. Sudah lama ia tak mengenakan pakaian baru. Ia tak ingin terlihat jelek di depan Palwito. Sudah tujuh hari Palwito tak pulang. Ah....

Pandu masih tidur nyenyak ketika Sawitri keluar rumah. Bocah laki-laki itu belum menunjukkan gejala sembuh. Bahkan demamnya semakin tinggi, suka mengigau tengah malam. Sawitri belum sempat membawa Pandu ke dokter. Tadi siang ia terlalu sibuk belanja di pasar mencari pakaian baru. Mungkin nanti siang setelah ketemu Palwito ia akan membawa Pandu ke dokter. Setelah Palwito tahu Pandu sakit. Setelah Palwito merasa bersalah tak pulang selama tujuh hari. Setelah Palwito merasa berdosa membiarkan Pandu sakit. Setelah, ya, ya, setelah Palwito terkagum-kagum melihat penampilannya!

Tapi rumah Palwito gelap. Lutut Sawitri tiba-tiba kembali gemetar. Matanya nanar. Ada beberapa pot bunga baru di teras depan. Dua cangkir kopi di atas meja. Asbak. Putung rokok. Koran. Majalah. Dan... Sawitri melangkah pelan menghampiri teras rumah Palwito. Ia sudah tak sabar ingin segera mengetuk pintu rumah itu. Tak sabar ingin cepat-cepat menyampaikan kabar tentang sakit demam yang dialami Pandu. Tak sabar ingin melihat wajah Palwito yang pucat saat mendengar kabar bahwa Pandu sakit. Tak sabar ingin melihat rasa bersalah Palwito karena membiarkan Pandu sakit berkepanjangan. Ya, ya, Sawitri benar-benar sudah tak sabar ingin segera mengetuk pintu.

Perlahan-lahan Sawitri mengangkat tangannya siap mengetuk pintu. Menarik napas dalam-dalam mengumpulkan segenap keberanian. Tapi, ah, entah kenapa tiba-tiba Sawitri urung mengetuk pintu. Tangannya ia turunkan lagi. Dan, tanpa diduga-duga Sawitri justru mendekatkan wajahnya pada kaca jendela. Ia merasa ada yang aneh di wajahnya. Kini Sawitri tahu wajahnya berkeringat. Buru-buru Sawitri menyeka keringat di wajahnya dengan sapu tangan yang ia ambil cepat dari saku celana. Memperhatikan lagi dengan lebih seksama dandanannya. Merapikan kaus dan ikatan rambut. Mematut. Tersenyum.

Kini Sawitri merasa dirinya sudah kembali cantik. Ia kemudian menarik napas dalam-dalam kembali siap mengetuk pintu. Tentu, ketukan pintu akan terdengar nyaring di pagi buta. Ya, ya, sebentar lagi ia akan ketemu Palwito. Sebentar lagi ia akan melihat wajah Palwito yang pucat setelah mendengar kabar bahwa Pandu sakit.

Tapi, ah, lagi-lagi Sawitri urung mengetuk pintu. Ia ingat, pagi-pagi seperti ini tidur Palwito justru semakin nyenyak, mendengkur. Gedoran pintu pun belum tentu bisa membangunkannya. Bagaimana jika yang membuka pintu bukan Palwito, tapi Aning? Ya, ya, Sawitri ingat, perempuan itu bernama Aning. Istri muda Palwito! Aning telah merampok Palwito dari sisinya. Ingat nama perempuan itu, Sawitri merasa tubuhnya goyah seperti ada gempa. Langit runtuh menimpa kepalanya. Ia pernah berjanji tak sudi ketemu dengan perempuan itu. Ah.....

Masih berdiri di depan pintu, Sawitri kembali berkeringat. Wajahnya kian pucat. Sesaat lamanya Sawitri mematung, bingung tak tahu harus berbuat apa. Tapi sejurus kemudian ia segera memutuskan pergi meninggalkan rumah itu sebelum seseorang di dalam rumah bangun lalu keluar membuka pintu. Jelas orang itu bukan Palwito karena pagi-pagi seperti ini tidur Palwito justru semakin nyenyak, mendengkur. Bukan Palwito karena pintu digedor pun belum tentu membuat dia bangun.

***

CAHAYA matahari pagi menerpa wajah Sawitri membuat matanya berkedip-kedip, silau. Tapi Sawitri terus melangkah cepat bersaing dengan anak-anak yang sedang berangkat sekolah. Ia harus segera sampai rumah sebelum Pandu bangun. Sebelum bocah laki-laki itu menangis keras karena ditinggal sendirian. Mungkin siang nanti ia akan membawa Pandu ke klinik dokter. Sawitri percaya pada dokter yang selalu bisa memberi keajaiban, seperti malaikat. Pandu pasti sembuh.

Sepanjang jalan pulang Sawitri terus merutuki nasibnya yang sial bisa ketemu Palwito. Sudah tujuh hari Palwito tak pulang. Ia merasa sia-sia telah membeli celana jeans dan kaos baru. Sia-sia semalaman tak bisa tidur. Sia-sia berdandan rapi. Sia-sia berjalan dua kilo meter lebih pulang pergi. Sia-sia...

Tiba-tiba Sawitri menghentikan langkahnya. Berdiri tegak menggosok-gosok mata memastikan penglihatannya tak terganggu. Tampak di rumahnya tetangga kanan kiri sibuk, hilir mudik. Beberapa orang wajahnya terlihat sedih, menangis. Sawitri kaget merasa tak pernah mengundang orang-orang itu datang ke rumahnya. Ada apa? Apakah ada perampok yang masuk rumahnya? Sawitri kembali melanjutkan langkahnya. Kali ini pelan dan gemetar. Jantungnya sedikit berdebar.

Tapi, ah, Sawitri segera ingat, ia merasa tak punya barang berharga di rumahnya yang bisa mengundang kawanan perampok. Rumah-rumah lain jauh lebih pantas untuk dirampok. Sawitri kembali melangkah cepat. Sesekali kakinya terantuk batu. Sawitri yakin tak ada perampok yang masuk rumahnya. Ia tak punya barang berharga di rumah. Ya, ia hanya punya Pandu. Hanya Pandu... ***
Depok, 2005
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar