Sabtu, 25 Februari 2012

Perempuan Air

Perempuan Air 
Cerpen: Suadi Sulaiman Laweueng 


Perempuan itu terus memandang ke sekelilingnya yang telah porak poranda. Setelah kampungnya dibinasakan ombak, dia langsung turun dari gunung menelusuri jalan-jalan yang penuh kenangan, jalan pulang ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, setiap jengkal rerumputan yang berdecakan karena basah embun yang belum tersentuh para penyadap getah. Hutan karet bapaknya yang terpaksa dijual ke seorang tengkulak.
Dia pulang sendiri, seperti kedatangannya. Tanpa siapa-siapa. Hening hutan dan kicau burung parau mengantarkannya pada kenangan. Daun karet gugur dan sinar matahari menyusup panas. Dia menghela napasnya. Dihapusnya keringat yang meleleh membasahi jenjang lehernya dengan setangan yang dulu dibordirnya sendiri. Tak lama keluarlah nyanyian kecil dari mungil mulutnya. Pedih, pilu, sebuah sayatan diperdengarkannya kepada alam yang sedang memusuhinya.
Perempuan itu mengaduh. Dia meratap pada kenangan masa kecilnya. Pada setiap embun yang membasahi sepasang kakinya. Sepasang kaki kelinci yang diburu dengan sebuah alasan. ”Mamak....” desisnya. Dia terjatuh. Bulir-bulir bening air keluar dari matanya. Dia menggeram. Perempuan itu menahan rindunya. Diraihnya sepotong kayu karet kering yang ada di dekat tangannya. Dia berusaha bangkit, jilbab hitamnya menggantung dan berkibar ditiup angin kematian. ”Sudah dekat,” gumamnya sembari melangkah lagi.
Kakinya melangkah pada rumput basah dan genangan air. Semua masih hening. Sama seperti ketika dia meninggalkan kampungnya tiga tahun lalu. ”Kampung kita akan semakin hening,” kata Zahra suatu ketika. Perempuan itu berhenti sejenak. Dia seperti dibingungkan oleh ingatannya sendiri. ”Inikah kampungku? Inikah?” dia masih bertanya pada diri sendiri. ”Lalu, lalu di mana pos penjagaan yang dulu berdiri dan membuat kami semua ketakutan? Membuat kami tidak aman untuk menatapnya, membuat semua lelaki dewasa di kampung kami pergi. Sehingga kampung kami menjadi kampung perempuan.” Memang, di pintu masuk kampung perempuan itu dulu ada sebuah pos keamanan yang dibuat justru bukan untuk membuat isi kampung merasa aman.
Perempuan itu berdiri di atas tapak sebuah bangunan. Disingkapnya celana panjangnya sehingga kelihatan betis putihnya. ”Lumpur, lumpur telah menenggelamkan keangkuhannya kini,” umpatnya. Diseretnya lagi kakinya meninggalkan bangunan yang ditutupi lumpur dan disesaki sampah. ”Kenapa hai laut? Kenapa kau karamkan juga kampung kami? Kenapa tidak mereka saja yang kau ambil. Pelan-pelan, pada suatu malam, bahkan diam-diam. Sebagaimana mereka telah mengambil lelaki-lelaki di kampung kami pada malam hari, dengan rapi untuk kemudian kami temukan lelaki-lelaki kampung kami itu mati. Terpuruk di lubang-lubang galian, dan pinggir-pinggir jalan.” Perempuan itu mulai marah. Matanya merah.

***
Seonggok daging tanpa lengan menyembul dari balik reruntuhan meunasah. ”Alahai… teungku,” dia terperanjat. Perempuan itu mengenal mayat yang ada di depannya. Dengan sopan dibalikkannya sesosok tubuh yang sudah menngelembung itu. Matanya semakin merah. ”Hidup tidak membutuhkan orang baik sepertimu. Karena hidup adalah kejahatan. Karena hidup adalah kekejaman, istirahatlah teungku. Istirahatlah.” Tubuh renta yang sudah tak berlengan kiri itu diletakkan dengan sopan. Selembar isi kitab suci mengapung di lumpur, tak jauh dari tubuh ringkih sang teungku.
Di tempat yang sama, banyak orang yang kembali turun dari tempat pengungsian. Mengumpulkan sanak saudaranya yang tercerai-berai. Mengumpulkan apa saja yang masih bisa digunakan, daun pintu, gergaji besi, grendel, gayung, penggorengan, kursi plastik, vas bunga, frame foto, kopor, piring pecah….
Tak lupa pula mereka mengumpulkan ingatan-ingatan masa silam. Rumah, kampung yang damai, seperti ketika orang-orang berseragam itu belum datang, menginjakkan kaki mereka dan mendirikan pos keamanan tepat di depan pintu masuk kampung kami.
Perempuan itu bangkit. Usianya masih belia. Seharusnya saat ini dia sedang memasak kuah pliek* atau menumbuk emping sambil bersenda gurau dengan Zahra. Atau juga, menghiasi tangannya dengan inai pengantin. ”Di mana Zahra?” batinnya. Perempuan itu panik dan menyeret kakinya menjauhi puing-puing meunasah. ”Di mana rumahnya?”. Perempuan itu memastikan bahwa pancangan kayu yang ada di depan matanya adalah puing rumah panggung orang tua Zahra. ”Tidak mungkin. Itu sudah tiga tahun yang lalu,” dia menggelengkan kepalanya. Sebuah boneka tergeletak basah oleh lumpur, kemudian dipungutnya. Matanya basah. ”Seandainya kau ikut aku…” katanya mengelus wajah boneka itu seraya beranjak dari tapak rumah Zahra.
Matanya merah saga. Dendam semakin jelas membara di sana. Di singkapnya selendang hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Keringat mengalir, membasahi kerah kemejanya. Dia berjalan tak tentu tujuan. Kampung itu telah rata. Bahkan pohon melinjo yang rindang dan menyemaki kampung tak satu pun lagi terlihat. Rumah-rumah panggung tinggal onggokan puing-puing monumen. Arca memoar bisu yang memendam seribu kisah. Bahkan jauh sebelum air naik dan menenggelamkannya. ”Di mana rumahku?” perempuan itu masih tak habis pikir. Seharusnya, setelah dia sampai di tiang listrik ketiga dari meunasah, dia akan menemukan rumahnya. Tapi tak ada. Bahkan tiang listrik ketiga itu sudah hilang tak berbekas.
Para tetangga mondar-mandir di hadapannya. Perempuan itu mengenal mereka. Namun semuanya terlihat sibuk mengumpulkan jenazah kerabatnya. Ada yang membawa sepotong kepala, ada yang membawa betis, ada yang membawa lengan kiri. Potongan-potongan tubuh itu dipungut, seperti batang jagung. Tak satu pun di antara mereka saling berbicara, sekedar mempertanyakan kabar masing-masing. Sebab mereka tahu, semua sedang mencari.
Sebilah rencong terlihat menyembul dari pinggangnya, ketika perempuan itu membungkukkan badan. ”Di mana emak? Di mana rumahku? Di mana tanahku? Di mana Zahra? Di mana orang-orang semua?” kutuknya pada lumpur yang kini digenggamnya? Tak ada suara lain yang terdengar di sana, kecuali suara ombak laut yang kian jelas dan masih menyimpan amarah. ”Bagaimana mungkin hai laut, sekarang kau ikut memusuhi kami? Bagaimana mungkin hai laut, kami yang selalu bersyair untukmu kau gulung dalam gelombang lumpur? Apa maumu?”. Disapunya lumpur yang ada di genggamnya ke seluruh wajah. Hingga wajahnya hitam, sehitam jilbabnya. ”Sekarang aku juga benci kau! Aku benci kau laut!!!” teriaknya. Hening. Semua hening.
Aku ada di sana. Tepat ketika suatu malam terdengar suara letusan. Bapaknya mati. Bapak perempuan itu mati bersimbah darah. Tak ada yang mau membuka pintu. Siapa tahu? Tidak ada yang tahu malam ini giliran siapa yang harus mati. Ataupun diambil untuk kemudian ditemukan mati pada keesokan harinya. Atau bahkan tidak pernah ditemukan lagi sama sekali. Tidak ada yang tahu. Tapi aku tahu. Sebab aku ada di sana malam itu.

***
Maka perempuan itu naik ke gunung. Mencabut rencong dan mengujamkannya ke bumi. ”Emak!” teriaknya. Perempuan itu teriak ketika dia memastikan bahwa yang ada di samping kakinya adalah foto emaknya. Perempuan tua dengan kerut-kerut wajah yang muram. ”Emak!!” teriaknya luka. Ada ribuan orang yang teriak emak di saat yang sama. Tapi hening. Cuma suara ombak laut yang terdengar kian jelas. Di hapusnya lumpur yang melekat di frame foto hitam putih itu.
”Di mana aku harus mengejar ombak? Di mana aku harus mengejar ombak? Di mana aku harus mengejar ombak?” teriaknya sambil mencabut rencongnya yang terendam lumpur. Luka hatinya semakin lebar. Pedih jiwanya semakin nyata. Perempuan itu berlari meninggalkan tapak rumahnya, meninggalkan penggalan-penggalan cerita lama. Dihunusnya rencong, disambutnya suara ombak yang menderau.

***
Aku tak mendengar kisah perempuan itu lagi. Sejak pertemuan terakhir kami di antara reruntuhan puing-puing kampung tempo hari. Mungkin dia telah hilang kini. Bersama amarah ombak yang membuncah dan melumat segala sumber kesedihannya. Mungkin juga dia akan kembali lagi nanti. Dengan sepasang mata yang saga.
Tidak lagi larut dalam pencarian rumah dan emaknya. Mungkin dia kembali dengan niat dan cita-cita yang sama ketika dia mengawali kisahnya sebagai manusia gunung. Mungkin saja. Kenapa tidak? Selalu akan ada orang yang naik ke gunung dari kampung kami. Dan selalu ada yang turun kembali. Walau apa pun yang terjadi.

Aceh, 22 Januari 2005

*Sayuran khas Aceh yang terbuat dari santan kelapa.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar