Basis Agama
Akhir-akhir ini orang mudah mengatasnamakan agama untuk memerangi orang dan pihak lain. Dengan atas nama kesucian agama, orang mudah menuduh orang dan pihak lain sebagai yang sesat. Atas nama tuhan dan dengan teriakan ”Allah Akbar” orang dengan mudah terbakar emosinya dengan tanpa rasa berdosa. Dengan teriakan ”Allah Akbar” orang ’alim berubah menjadi kasar dan mampu melakukan tindak kekerasan fisik dan psikis terhadap orang lain. Dalam hal ini agama dijadikan alasan dan dasar untuk saling menyakiti dan membenci. Inilah fakta keberagmaan kaum ektirimis Islam.
Sementara itu kelompok-kelompok mainstream seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, memahami Islam sebagai agama damai, rahmatan lil ’alamin, sejalan dengan nilai-nilai HAM, Demokrasi dan kesetaraan serta keadilan jender. Bagaimana kita memahami agama yang sama dengan ekspresi keagamaan yang berbeda-beda bahkan bertolak belakang? Bagaimana kita memahami kenyataan bahwa kelompok radikal dalam Islam melakukan teror dengan sambil berteriak ”Allah Akbar”, sementara kelompok Islam lain menyebarkan kedamaian, kesetaraan, kejujuran dan keadilan atas nama Allah juga?
Untuk memahami itu, pada diskusi kemisan di Fahmina mencoba membahas dan menganalisa keragaman ekspresi keagamaan yang ada dengan analisa Semiotika. Dalam hal ini Ali Mursyid mencoba mengawali dengan menjelaskan dasar-dasar semiotika. Ia memulai penjelasannya seputar pengertian sederhana semiotika, aliran-aliran yang berkembang dan penggunaannya belakangan ini.
Semiotika sendiri diartikan secara sederhana sebagai ilmu tentang tanda. Awalnya ilmu ini digunakan dalam disiplin sastra tetapi kemudian bisa juga digunakan untuk menganalisa yang lain, termasuk memahami tanda-tanda atau simbol-simbol keagamaan yang rentan digunakan sebagai pemicu konflik belakangan ini. Dalam semitioka sendiri dikenal kata-kata kunci yang dasar sekali, yaitu: tanda (sign), petanda (signifier) dan penanda (significant). Sebagai contoh kata MERAH sebagai tanda. Kata ini tidak sendirinya memiliki makna spesifik. Makna spesifik atau makna yang significant muncul bila dikaitkan dengan konteks atau petanda tertentu.
Kata atau tanda MERAH awalnya adalah bermakna warna merah, yang bukan warna putih, hitam atau yang lainnya. Ini adalah makna pertama atau makna konotatif yang dihasilkan oleh petanda warna. Tetapi jika petandanya bukan hanya warna melainkan karakter umpamanya, maka MERAH bisa berarti berani, gagah dan tidak kompromi. Dan dalam konteks politik internasional, kata atau tanda MERAH berarti atau significant dengan aliran politik kiri dan sosialis. Dalam semiotika, pada taraf ini, makan lugas berubah menjadi makna mythe
Dalam semiotik satu tanda atau satu simbol bisa dipahami secara berbeda bahkan mungkin berlawanan. Warna Putih bisa dipahami suci, tetapi bisa dipahami sebagai menyerah kalah. Kesedihan juga bisa disimbolkan dengan baju hitam-hitam, tetapi dalam kultur yang lain kesedihan disimbolkan justru dengan mengenakan baju putih-putih. Demikianlah diharapkan dengan memahami semiotik kita dapat memahami keragaman ekspresi keagamaan yang muncul.
Demikian juga sikap dan ekspresi keberagaman yang disimbolkan dengan kata Allah, bisa berbeda-beda. Sejak dahulu dan sampai perkembangannya sekarang ini. Dahulu sebelum kebangkitan Nabi Muhammad membawa Islam di tanah Makkah dan Jazirah Arabiyah, terdapat berbagai tuhan atau yang dipertuhan oleh tiap kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat pedagang mempertuhankan Latta, Uzza dan Manna. Sementara kelompok petani yang lemah atau kelompok hanif mempertuhan ilahun, yang kemudian dikenal menjadi Allah dengan tambahan al-ta’rif. Jadi jika Nabi Muhammad kemudian menyerukan la ilaha ilallah, maka maknanya bukan hanya tauhid secara teologis belaka. Kalimat tiada Tuhan selain Allah, artinya juga tuhan-tuhan lain yang disembah oleh kelompok kuat harus tidak diakui dan kita hanya harus mengakui tuhan Allah, tuhan kaum tani dan kaum lemah. Jadi maknanya juga kaum lemah harus dibela. Dalam hal ini tauhid yang digagas Nabi adalah sebuah peluit revolusi sosial untuk membela kaum lemah. Inilah makna awal Allah dipertuhankan.
Selanjutnya masa khulafa al-rasyidin, masa para sahabat besar yang ikhlas berijtihad, berdarah-darah, mencari solusi atas berbagai persoalan yang muncul sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini ekspresi keagamaan para sahabat empat yang jujur dan saleh ini dipertaruhkan dengan berbagai sisi kemanusiaannya, yang juga tidak terlepas dari konflik dan kepentingan-kepentingan manusiawi. Abu Bakar yang keras terhadap para pembangkang yang tidak membayar zakat, Umar yang bijak dalam mencari terobosan solusi kegamaan sehingga kemudian dikenal dengan adanya Fiqh Umar, Utsman yang berijtihad membukukan Al-Qur’an meski bergelimang nepotisme, Ali yang pada akhirnya berkonflik, sungguh itu semua dilakukan untuk kebaikan Islam. Khulafa al-rasyidin dalam hal ini mengasumsikan agama atau Allah sebagai cara hidup yang disesuaikan dengan nilai-nilai yang di bawah Nabi. Di satu sisi, mereka mencoba mempertahankan apa yang diajarkan Nabi, di sisi lain mereka harus mencari solusi atas segala persoalan yang muncul dan berkembang.
Tetapi menginjak masa transisi dari khulafa al-rasyidin ke daulah Umayyah, terjadi pergeseran pemaknaan atas Allah dan agama itu sendiri. Ini di awali pada peristiwa tahkim yang ditawarkan Muawiyah ke Ali. Di mana Muawiyah menyatakan dengan menyitir QS, Al-Ma’idah: 44 yang artinya: Barang siapa tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka termasuk orang-orang kafir. Ia menyitir ayat ini dengan mengacungkan Al-Qur’an agar Ali mau berunding dan bersedia bersumpah dengan Al-Qur’an. Tetapi ternyata maksud Muawiyah adalah Ali jangan berkuasa, dia saja yang berkuasa. Dan sejarah mencatat bahwa akhirnya maksud Muawiyah ini tercapai. Dalam hal, Ali ini menyatakan bahwa berhukum dengan hukum Allah itu kalimat benar tetapi untuk tujuan yang salah (kalimatu haqqin uridu biha al-bathil). Jadi ekspresi keagamaan saat itu atau simbol Allah diteriakkan demi kepentingan untuk memperoleh kekuasaan.
Masa selanjutnya, sejarah kembali mencatat bahwa khutbah-khutbah jum’at masa daulah Umayyah sering diisi cercaan terhadap Ali dan kerabatnya. Ini berarti mengatasnakaman Allah atau mengatasnamakan agama demi memuaskan kebencian politik pada kelompok yang berseberangan. Sementara itu pada masa yang sama berkembanglah kelompok-kelompok sufi dan faqih (ahli fiqh) yang menjaga jarak dengan kekuasaan. Mereka mencoba mengekspresikan agama atau menyatakan simbol Allah sebagai sebagai sesuatu yang suci dari hiruk pikuk politik. Alih-alih menjaga kesucian dalam beragama, ”Allah” juga sebenarnya dijadikan sebagai obat dari kekalahan politis dan penghibur belaka.
Seterusnya demikian, Ali menjelaskan tahap demi tahapan sejarah dan bagaimana semangat keagamaan yang muncul di dalamnya, bagaimana dalam tiap tahap tersebut Allah diperlakukan dan dimaknai. Sampai pada bagaimana kelompok-kelompok radikal berteriak ”Allah Akbar” untuk saling membunuh. ”Allah” dijadikan simbol untuk saling membenci. Ini jelas sangat jauh maknanya dari ”Allah” yang dipertuhan Nabi Muhammad SAW, yang menjadikannya simbol perjuangan dan pembelaan kaum lemah.
Diskusi kemudian berjalan lebih dalam dan njlimet, karena beberapa peserta meminta penjelasan tentang semiotika. Ali menjelaskan beberapa istilah asing dan khas semiotika. Tetapi yang jelas semiotika diterima dan mulai dipahami sebagai metode kritis dalam membaca fenomena keberagamaan kontemporer. (AM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar