Jumat, 19 Oktober 2012

Cintaku Jauh di Komodo


Cintaku Jauh di Komodo

Cerpen Seno Gumira Aji Darma


HANYA laut. Hanya kekosongan. Dunia hanyalah laut dan langit melingkar, membentuk garis melingkar yang tiada pernah berubah jaraknya, meski perahuku melaju menembus angin yang bergaram. Bibirku terasa asin dan rambutku menyerap garam, tapi kutahu cintaku belum berkarat bila tiba di pulau itu. Bagaimana cinta akan berkarat hanya karena sebuah jarak, dari labuan Bajo ke Komodo, jika cinta ini belum juga berjarak setelah mengarungi berabad-abad jarak, dari suatu masa ketika cinta pertama kali ada? Lagi pula bagaimana cinta akan berkarat karena angin yang bergaram jika cinta memang bukan besi? Aku dan kekasihku diciptakan dari sepasang bayang-bayang di tembok yang tubuhnya sudah mati, dan semenjak saat itu kami menjadi semacam takdir ketika tiada sesuatu pun di dunia ini yang tidak bisa memutuskan hubungan cinta kami. Barangkali itulah yang disebut dengan cinta abadi.
Aku mengatakan semacam takdir, karena kami memang tidak terpisahkan, tapi aku hanya berani mengatakan hanya semacam takdir, dan bukan takdir itu sendiri, karena sesungguhnyalah aku tidak akan bisa tahu apakah benar cinta kami yang barangkali abadi itu adalah takdir. Kami seperti tiba-tiba saja ada dan saling mencintai sepenuh hati, tapi sunguh mati memang hanya seperti dan sekali lagi hanya seperti, karena sesungguhnyalah cinta kami yang barangkali abadi itu adalah sesuatu yang diperjuangkan. Cinta yang abadi kukira bukanlah sesuatu yang ditakdirkan, cinta yang abadi adalah sesuatu yang diperjuangkan terus-menerus sehingga cinta itu tetap ada, tetap bertahan, tetap membara, tetap penuh pesona, tetap menggelisahkan, tetap misterius, dan tetap terus-menerus menimbulkan tanda tanya; cintakah kau padaku, cintakah kau padaku?[1]
Setiap kali kami mati dan dilahirkan kembali, kami selalu bisa saling mengenali dan mengusahakan segalanya untuk menyatu kembali. Kami memang diciptakan dari sepasang bayang-bayang, dan bayang-bayang bisa berkelebat menembus segala tabir, namun kami tidak pernah lahir kembali sebagai sepasang bayang-bayang yang bisa berkelebat seenak udelnya. Kami sering dilahirkan kembali sebagai manusia, dan sebagai manusia kami tidak bisa berkelbat seenak udel kami, begitu pula bayang-bayang kami yang selalu mengikuti, menempel seperti ketan, lengket bagai benalu, barangkali menunggu kami mati dan menjadi pasangan baru. Apabila kami berbeda kulit, dan kemudian berbeda kelas sosial, lantas berbeda agama pula—betapa berat usaha kami menyatukan diri. Walaupun kami terbukti saling mencintai, terlalu banyak manusia merasa berhak untuk tidak setuju dan melarang hubungan kami. Apalagi jika kami lahir kembali masing-masing sebagai pasangan resmi orang lain. Nah, tiada seorang pun yang akan mengizinkan dirinya untuk memahami, bahkan kami pun bisa bingung sendiri.
Demikianlah cinta kami selalu di uji, benarkah begitu kuat usaha kami untuk menyatu kembali, ataukah cinta kami ini hanya begitu-begitu saja yang terlalu mudah menyerah karena berbagai macam halangan yang sebenarnya bisa saja diatasi. Memang begitu banyak godaan kepada kesetiaan cinta kami; bisa berwujud harta kekayaan, bisa berupa kursi kekuasaan, tapi yang paling berbahaya adalah pesona cinta itu sendiri. Hmm. Cinta diuji oleh cinta. Seringkali ini sangat membingungkan—tetapi selalu bisa kami atasi. Cinta yang sejati, kukira, hanyalah menjadi sejati jika tahan uji terhadap cinta yang sama hebohnya, yakni cinta yang dasyat itu, dengan segenap petir dan halilintarnya yang tanpa kecuali menggetarkan dan medebarkan hati. Kesetiaan kami masing-masing telah membuat kami selalu bertemu kembali, begitulah, meski terkadang penuh luka-luka cinta di sana-sini karena ketergodaan yang terlalu menarik untuk tidak dilayani.
Apabila kami bertemu dari kelahhiran satu ke kelahiran lain, kami akan saling mengenali, meski perbedaan duniawi yang membungkus kami bisa mengakibatkan masalah berarti. Itulah misalnya yang terjadi misalnya ketika aku lahir sebagai pendeta dan kekasihku lahir sebagai putri raja. Lain kali aku lahir kembali sebagai perempuan dan kekasihku lahir kembali tetap sebagai perempuan. Suatu kali bahkan ketika lahir kembali sebagai bayi, kekasihku sudah lahir berpuluh tahun sebelumnya dan hampir mati. Tetapi tidakkah cinta itu tiada memandang wujud, dan tiada pula memandang usia? Jika cinta memang mempersatukan jiwa, maka kesenjangan tubuh macam apakah yang bisa menghalanginya? Justru itulah masalahnya sekarang: apakah aku, sebagai manusia biasa, masih bisa mencintai kekasihku, jika kekasihku itu telah menjadi komodo?[2]
Hanya laut. Hanya kekosongan. Laut dan langit bagai bertaut, tapi sebetulnya mereka tidak bersentuhan sama sekali. apakah aku bisa bertemu kekasihku kali ini? Tanda-tanda alam memberi isyarat kepadku, kekasihku telah dilahirkan kembali dalam wujud seekor komodo,yang sekarang berada di Pulau Komodo. Sebagai seekor komodo, kekasihku menimbulkan maslah besar, karena telah memakan seorang anak gadis yang sedang mandi di sungai. Perburuan liar telah mengurangi jumlah kijang yang biasa dimakan komodo, sehingga kekasihku dengan kelaparan yang amat sangat telah menerkam dan menelan seorang anak gadis berusia 12 tahun. Karena undang-undang melindungi komodo, maka kekasihku tidak dibunuh, melainkan dibuang ke suatu wilayah di Pulau Flores yang juga dihuni komodo. Namun, di tempat yang baru itu, kekasihku dianggap sebagai komodo asing yang dimusuhi oleh komodo-komodo lain. Akibatnya, kekasihku berenang dan  menyeberangi laut untuk kembali ke Pulau Komodo—dan kini aku datang ke pulau itu untuk mencarinya.[3]
Dalam sejarah percintaan kami dari abad ke abad, belum pernah kami lahir kembali dengan berbeda spesies seperti ini. Karena kami selalu berperilaku baik, kami selalu lahir kembali sebagai manusia—kesalahan apakah yang telah dilakukan kekasihku, dan aku tidak mengetahuinya, sehingga lahir kembali sebagai komodo? Kalaulah aku masih mempunyai kepekaan untuk mengenalinya, bagaimanakah caranya untuk menmgenaliku—dan apa yang akan kami lakukan? Aku tidak mungkin mengawini dan membawanya sebagai seekor komodo ke dalam apartemenku di Jakarta. Pasti Supermie tidak akan pula mengenyangkannya. Atas nama cinta, apakah yang masih bisa kulakukan untukmu, kekasihku?
***
KETIKA akhirnya kami berjumpa di sebuah kubangan pada sungai kering berbatu-batu, hatiku terasa kosong. Setelah menjelajahi pulau itu selama dua hari dan bertemu dengan sejumlah komodo, akhirnya aku bertemu dengan seekor komodo yang kuyakini sebagai kekasihku. Rupanya kekasihku menjadi seekor komodo jantan.
Karena aku turun ke kampung komodo,[4] dan bukan di Loh Liang, tempat para petugas Taman Nasional biasa memandu wisatawan, aku menjelajahi pualau itu siang-malam tanapa pengawal. Bersenjatakan tongkat bercabang, aku berhasil menyelamatkan diri dari serangan sejumlah komodo, sampai kutemukan komodo jantan yang pernah memakan anak gadis itu.[5]
Kami bertemu pada suatu siang yang panas dan aku sedang mendaki ketika kulihat dia merayap ke arahku di bawah kerimbunan semak-semak. Apakah yang masih kukenal dari kekasihku yang cantik jelita pada komodo jantan ini? Tadinya masih kuharapkan pandangan mata yang penuh dengan cinta, tapi hanya kulihat sebuah pandangan mata yang kosong. Sudah jelas ia tampak kelaparan, dan kukira ia tidak mengenaliku lagi—apakah masih sahih jika aku berusaha tetap mempertahankan cinta? Dalam keadaan seperti ini, aku menjadi ragu, apakah cinta yang abadi itu sebenarnya memang ada, ataukah hanya seolah-olah ada dan dipercaya begitu rupa sehingga mengelabuhi para peminatnya? Mungkin cinta memang mengenal wujud—meskipun komodo jantan itu memang penjelmaan kekasihku, dan aku sangat mencintainya, aku bertanya-tanya apakah aku bisa mencintainya seperti mencintai kekasihku…
Aku terpeleset dari tebing, dan meluncur masuk ke kubangan, tepat dihadapan mulutnya yang menganga. Semuanya sudah terlambat, kaki kiriku sudah masuk ke dalam mulutnya, langsung patah beberapa bagian. Aku tidak sempat memanfaatkan tongkat bercabang itu—apakah aku akan lebih bahagia jika menyerahkan jiwa sebagai pengorbanan cinta? Kuras seluruh tubuhku tersedot masuk ke dalam tubuh komodo itu sekarang. Di dalam tubuh itu hanya kurasakan kegelapan—dan perasaan menyatu. Kalau aku tidak keliru.

Labuan Bajo, Juli 2003

Kompas, Minggu_17/08/2003




[1]* Judul ini mengacu kepada sajak Chairil Anwar, Cintaku Jauh di Pulau (1946).
[1] Ingatan terbalik atas sajak afterthought: cintakah kau kepadanya/cintakah kau kepadanya dalam Toety Heraty, Nostalgi=Transendensi (1995)., hal75.
[2] Reptil bernama resmi Varanus Komodoensis yang panjangnya bisa mencapai tiga meter dan berat 150 kilogram, dan selalu disebut hanya terdapat di Pulau Komodo, dengan jumlah sekitar 1650 ekor (1994). Ternyata terdapat pula di Pulau Rinca, sebanyak 1000 ekor, dan suatu wilayah di Flores yang jumlahnya belum sepat dihitung.
Sisa makhluk perbakala itu baru ditemukan secara resmi pada tahun 1911 oleh tentara Hindia Belandan dan diberi nama pada tahun 1912 oleh PA Ouwens, kurator musiam zoologi Bogor.
(Baca Linda Hoffman; Introduction dan Enter the Dragon: Visiting the Island of Dinosaurs dalam Kal Muller, East of Bali: from Lombok to Timor (1997), hal 111-114.  
[3] Bagian kisah ini mengacu kepada suatu kejadian, yang dialami seorang bocah lelaki pada tahun 1987, namun terjadinya di Pulau Rinca, yang bersebelahan dengan Pulau Komodo, dalam Muller, Ibid., hal: 111-2
[4] Kampung Komodo, terdiri atas 400 KK (2003), satu-satunya kampung di pulau itu, mempunyai kebudayaan dan bahasa sendiri. Mereka menyebut komodo sebagai ora. Lebih jauh baca JAJ Verheijen, Pulau Komodo: Tanah, Rakyat dan Bahasanya (1987), terjemahan A Ikram
[5] Korban terakhir adalah Baron Rudolf Van Biberegg, wisatawan asal Swiss berusia 84 tahun, pada tahun 1972, yang lenyap di Poreng, Pulau Komodo—yang tertinggal hanyalag tripod-nya, kaki tiga untuk kamera. Muller, op cit., hal: 112.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar